Rabu, 04 Juli 2012

Anemia defisiensi besi (ADB)

PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB)    adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store)yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Pada anak-anak sering terjadi defisiensi besi karena diakibatkan kurang gizi dan infestassi cacing tambang, sedangkan pada orang dewasa sering diakibatkan cacing tambang, gangguan arsorbsi dan perdarahan.

BIOKIMIA
Besi merupakan satu elemen dalam metabolisme tubuh dan berfungsi sebagai pembentukan sel-sel darah merah (eritropoesis). besi juga berperan dalam menghantarkan substrat dalam sel ke mol oksigen yang di hantarkan ke jaringan tubuh.
Mitokondiria mengandung system untuk pembentukan ATP. System inilah beberapa komponennya terdapat besi yang menghantarkan atom untuk pembentukan ATP. Dalam pembentukan energy membutuhkan enzim, enzim yang berrperan adalah enzim sitokrom.

KOMPONEN BESI DALAM TUBUH
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berrupa :
1.    Senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh.
2.    Besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang.
3.    Besi transport, besi yang berkaitan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari suatu komponen ke komponen lain.
Besi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan, mempunyai sifat seeperti radikal bebas.

ARSORBSI
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi ke dalam tubuh di perlukan proses arsorbsi. Arsorbsi besi paling banyak terjadi pada bagian paroksimal duodenum disebabkan oleh Ph dari asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang di perlukan dalam arsorbsi besi pada epitel usus.
Proses arsorbsi besi di bagi menjadi 3 fase:
•    Fase luminal   : Besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum.
•    Fase Mukosal   : Proses penyerapan dalam mukosa usus  yang merupakan suatu proses aktif.
•    Fase Korporeal  : Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi oleh tubuh.
•    Fase luminal     : Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu :
-    Besi Heme : terdapat dalam daging dan ikan, tingkat arbsorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai biovailabilitas tinggi.
-    Besi Non- heme : berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, tingkat arbsorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga biovaibilitasnya rendah.
Yang tergolong sebagai bahan pemacu arsorbsi besi adalah “meat  factors” dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat dan serat (fibre). Dalam lambung karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa yang lain. Kemudian teerjadi reduksi dari besi untuk feri ke fero yang siap untuk di serap.
•    Fase Mukosal : Penyerapan besi terjadi terutaama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan teerkendali (carefully regulated)
•    Fase Korporeal : Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian daalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi.

ETIOLOGI
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
    Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapt berasal dari:
1.    saluran cerna: akibat dari tukak peptic, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing tambang.
2.    saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia.
3.    saluran kemih: hematuria
4.    saluran napas: hemoptoe
    Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
    Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
    Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.

Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab paling sering pada laki – laki ialah perdarahan karena gastrointestinal di Negara tropic paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia.
    Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat atau di lapangan dengan ADB di rumah sakit atau praktek klinik. ADB di lapangan  pada umumnya disertai anemia ringan atau sedang, sedangkan di klinik ADB umumnya disertai anemia berat. Di lapangan faktor nutrisi lebih berperan dibanding perdarahan. Sedangkan di klinik, seperti misalnya pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik memegang peranan penting , pada laki – laki adalah infeksi cacing tambang (54%), dan hemoroid (27%), sedangkan pada perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan cacing tambang masing –masing (17%).

PATOGENESIS
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi berkurang. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut Iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besid dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangna besi terus berlanjut terus cadangan besi menjadi koson sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis  berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan seperti ini disebut sebagai: Iron  deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin dalam ertosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC). Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus menerus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juiga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menombulkan gejala pada epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.

MEKANISME REGULASI ABSORBSI BESI
Terdapat 3 mekanisme regulator absorbsi besi dalam usus:
Regulator Dietetik
Absorbsi besi dipengaruhi oleh jenis diet dimana besi terdapat. Diet dengan biovailabilitas tinggi yaitu besi heme, besi dari sumber hewani, serta adanya faktor enhancer yang akan meningkatkan absorbsi besi. Sedangkan besi dengan biovaibilitas rendah adalah besi non-heme, besi yang berasal dari sumber nabati dan banyak mengandung inhibitor akan disertai absorbsi besi yang rendah.
Regulator Simpanan
Penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh. penyerapan besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila cadangan besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan. Bagaimana mekanisme regulasi ini bekerja belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan melalui crypt-cell programming sehubungan dengan respons saturasi transferin plasma dengan besi.
Regulator Eritropoetik
Besar absorbsi besi berhubungan kecepatan eritropoesis. Eritropoietic regulator mempunyai kemampuan regulasi absorbsi besi lebih tinggi dibandingkan dengan stores regulator. Mekanisme erytropoetic regulator ini belum diketahui dengan pasti.Eritripoesis inefektif (peningkatan eritropoesis tetapi disertasi penghancuran precurcor eritrosit dalam sumsum tulang).

SIKLUS BESI DALAM TUBUH
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untuk kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akaan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya eritropoesis inefektif (hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit beredar, setelah mengalami proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg.

KLASIFIKASI DERAJAT DEFISIENSI BESI
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam ubuh, maka defisiensi besi dapat bibagi menjadi 3 tingkatan:
1.    Deplesi Besi ( Iron depleted state): cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.
2.    Eritropoesis Defisiensi Besi ( Iron deficient erythropoiesis): cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
3.    Anemia Defisiensi Besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.


GEJALA ANEMIA DEFISIENSI BESI
Gejala Umum Anemia
Disebut juga dengan sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala lain berupa badan lesu, lemah, cepat lelah, mata berkunang-kunang., serta telinga berdenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun di bawah 7 gr/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.

Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada anemia defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain:
1.    Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
2.    Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang.
3.    Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4.    Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
5.    Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorida
6.    Pica: Keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, lem,dll.

Gejala dasar penyakit
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala –gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karen akanker kronik kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain sesuai dengan lokasi kanker tersebut

ANKILOSTOMIASIS (PENYAKIT CACING TAMBANG)

Pendahuluan

Cacing ini dikenal sejak Zaman Mesir Kuno dan mengenai penyakitnya telah ditulis di Italia, Arab, dan Brazilia, jauh sebelum cacing tambang, Ancylstoma duodenale ditemukan oleh Dubini pada tahun 1838. Penyakit yang ditimbulkannya dinamakan ankilostomiasis, penyakit  ini merupakan penyakit cacing yang paling lama.
Nama lain : nekatoriasis, unseriasis.
Cacing tambang pada manusia dikenal 2 jenis yang tersering, yakni sebagai berikut:
1.    Ancylostoma duodenale yang disebut jenis dunia lama
2.    Necator Americanus yang dikenal sebagai jenis dunia baru. Jenis penyakit yang kedua inilah yang dibawa dari Afrika.

Etiologi

    Necator americanus  Tersering
    Anchylostoma Duodenale
    Anchylostoma Braziliensis
    Anchylostoma Caninum          Jarang
    Anchylostoma Malayanum

Epidemiologi

Telur cacing ini untuk pertumbuhannya memerlukan temperature terendah sekitar 18°C dan tanah yang lembab. Dengan demikia suatu kenyataan bahwa daerah-daerah panas merupakan tempat penyebarannya.
Penyebaran disebabkan oleh factor-faktor berikut.
1.    Pembuangan kotoran orang-orang yang terinfeksi di tempat-tempat yang dilewati orang lain
2.    Tanah atau pasir tempat pembuangan kotoran yang merupakan medium baik bagi larva
3.    Suhu panas dan lembab
4.    Populasi yang miskin dengan orang-orang tanpa sepatu.
Di Cina perpindahan terjadi karena pemakaian pupuk dari kotoran manusia. Di Indonesia  ankilostomasis banyak terjangkit oleh karyawan perkebunan karet. Orang negro lebih resisten dari orang kulit putih terhadap Necator americanus.

Patologi dan simptomatologi

Larva yang menembus kulit menyebabkan rasa gatal. Apabila sejumlah larva menembus paru-paru, bagi orang-orang yang peka maka suatu waktu dapat menyebabkan bronchitis atau pneumonitis.
Penyakit cacing tambang sebenarnya merupakan suatu infeksi kronis. Orang-orang yang terinfeksi kadang-kadang tidak melibatkan symptom akut, karena serangan cacing dewasa dapat menyebabkan anemia yang disebabkan kehilangan darah secara terus-menerus. Satu ekor cacing dapat menghisap darah setiap hari 0,1 – 1,4 cm³, berarti penderita yang mengandung 500 ekor cacing akan kehilangan darah 50 – 500 cm³ setiap harinya.

Cacing dewasa
•    Sifatnya mengisap darah,dan suka berpindah2,serta luka bekas isapannya terus mengeluarkan darah.
•    OK. cacing ini mengeluarkan sejenis anticoagulansia pada mukosa usus tempat mulutnya melekat,maka akan menimbulkan Anaemia Hypochrom Micrositer
•    Hb nya bisa turun sampai 2 gram%,dan RBC lebih < dari kurang normal.
•    Keluhannya pasien merasa lemah, masih bisa bekerja, lesu, jantung berdebar–debar.
•    Anaemi terjadi oleh karena :
    Defesiensi Fe,darah yg diisap,rata2 0,03ml darah/hari/ekor.
    Berat ringannya anaemi,tergantung pada jumlah, jenis species cacing, serta gizi, umur dan daya tahan pasien,serta reinfeksi.
    Ringan  jumlah cacing  <100, Sedang  100 – 500, Berat  >500

Gejala Klinis

1.    Penetrasi kulit
a.    Satu atau dua hari setelah larva menembus kulit terjadi eritema dan gatal (ground itch atau dew itch) dengan bintik-bintik merah. Dalam 10 hari keadaan ini hilang.
b.    Gambaran yang kedua terjadi urtikaria segera larva berada di atas kulit. Kondisi ini terjadi dalam beberapa jam, setelah itu bintik merah hilang.

2.    Pasase paru-paru
Pasase paru-paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis, tergantung pada kepekaan individu.

3.    Stadium dewasa dalam usus
Adanya cacing dewasa dalam usus dapat menyebabkan sakit perut, muntah, kembung, sering flatus, diare dan malaise umum yang muncul pada beberapa pasien 8 – 30 hari setelah infeksi.
Symptom utama adalah pallor kulit (kulit pucat), muka pucat, kadang-kadang  terdapat udema pada tungkai bawah. Para penderita kebanyakan kulitnya berwarna kuning.
Ancylostoma duodenale menyebabkan anemia yang lebih cepat daripada Necator americanus. Patogenitas Ancylostoma brazillensis lebih sederhana. Menurut penelitian, anemia biasanya muncul 10-20 minggu setelah infeksi dan kemudian perlahan-lahan terus menaik.

4.    Bila larva filariform tertelan  Akan meinmbulkan “Wakana disease”.  
Pencegahan
Pencegahan infeksi cacing tambang dapat dihindarkan dengan cara sebagai berikut.
1.    Pembuangan tinja pada jamban-jamban yang memenuhi syarat kesehatan
2.    Memakai sepatu untuk menghindari masuknya larva melalui kulit
3.    Mengobati orang-orang yang mengandung parasit.

Pengobatan masal dapat dilakukan bila frekuensinya melebihi 50 persen, jumlah cacing rata-rata melebihi 150 ekor dan bila fasilitas untuk memeriksa seluruh penduduk setempat tidak ada. Di pedesaan, bila system pengaliran air selokan tidak baik untuk  sanitasi, defekasi di sembarang tempat dapat dihindari dengan pembuatan lubang-lubang kakus.

Komplikasi    Dermatitis berat
    Anemia berat

DiagnosisDiagnosis ankilostomiasis didasarkan pada hasil analisis klinis dan data laboratories. Faktor yang menentukan adalah ditemukannya telur cacing ini dalam tinja. Haruslah diingat bahwa telur ini sangat menyerupai telur Trichostrongylus. Perbedaannya adalah telur Trichostrongylus terdapat 16-30 blastomer.

TerapiTerapi terhadap ankilostomiasis tanpa anemia dapat dilakukan dengan pemberian anthelmenthik seperti berikut.
1.    Alcopar ®(Bepheniumhydroxynaphthaloat)
2.    Jonit ®( (Pheylen -1, 4-diisothiocyanat)
3.    Minzolum®( (Thiabendazol)
Preparat yang banyak beredar di Indonesia ialah pahnitin pamoat pyrantel pamsat dan mebendazol. Dalam beberapa untuk anemia, seperti anemia yang kurang dari 40 persen peril dilakukan terapi patogenik telebih dahulu sebelum pemberian obat cacing. Terapi patogenik dapat dilakukan dengan pemberian preparat besi.

PrognosisDengan pengobatan yang adekuat walaupun sudah terjadi komplikasi, prognosis baik.

Saluran Kemih

Pengertian


Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dlam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).

Susunan Sistem Perkemihan

Sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria.

Ginjal (Ren)

 Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang besar.

Fungsi ginjal

 Fungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun, b) mempertahankan suasana keseimbangan cairan, c) mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan d) mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.

Fascia Renalis terdiri dari:
Fascia renalis terdiri dari a) fascia (fascia renalis), b) Jaringan lemak peri renal, dan c) kapsula yang sebenarnya (kapsula fibrosa), meliputi dan melekat dengan erat pada permukaan luar ginjal

Struktur Ginjal

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna cokelat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari : Glomerulus, tubulus proximal, ansa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius.

Proses pembentukan urin
Tahap pembentukan urin
1. Proses Filtrasi ,di glomerulus
terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus.
2. Proses Reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glikosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.
3. Proses sekresi.
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar.

Pendarahan

 Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan arteria renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang menjadi arteria interlobularis kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi arteriolae aferen glomerulus yang masuk ke gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus disebut arteriolae eferen gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena cava inferior.

Persarafan Ginjal

Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis(vasomotor). Saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal.

Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
1. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
2. Lapisan tengah lapisan otot polos
3. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih.

Vesika Urinaria (Kandung Kemih)

Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir (kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.
Dinding kandung kemih terdiri dari:
1. Lapisan sebelah luar (peritoneum).
2. Tunika muskularis (lapisan berotot).
3. Tunika submukosa.
4. Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).

Uretra

 Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:
1. Urethra pars Prostatica
2. Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra externa)
3. Urethra pars spongiosa.
Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter urethra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya sebagai saluran ekskresi.
Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan:
1. Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika urinaria. Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter urethra menjaga agar urethra tetap tertutup.
2. Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf.
3. Lapisan mukosa.

Urin (Air Kemih)

Sifat fisis air kemih, terdiri dari:
1. Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake) cairan dan faktor lainnya.
2. Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
3. Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan dan sebagainya.
4. Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.
5. Berat jenis 1,015-1,020.
6. Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari pada diet (sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam).
Komposisi air kemih, terdiri dari:
1. Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
2. Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea, amoniak dan kreatinin.
3. Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat.
4. Pagmen (bilirubin dan urobilin).
5. Toksin.
6. Hormon.

Mikturisi

 Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin. Mikturisi melibatkan 2 tahap utama, yaitu:
1. Kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat melampaui nilai ambang batas (Hal ini terjadi bila telah tertimbun 170-230 ml urin), keadaan ini akan mencetuskan tahap ke 2.
2. adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan mengosongkan kandung kemih.
Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang belakang) Sebagian besar pengosongan di luar kendali tetapi pengontrolan dapat di pelajari “latih”. Sistem saraf simpatis : impuls menghambat Vesika Urinaria dan gerak spinchter interna, sehingga otot detrusor relax dan spinchter interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis: impuls menyebabkan otot detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi terjadi MIKTURISI (normal: tidak nyeri).
.
Ciri-Ciri Urin Normal
1. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah cairan yang masuk.
2. Warnanya bening oranye tanpa ada endapan.
3. Baunya tajam.
4. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.


Bahan Bacaan

Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. Jakarta: EGC
Pearce, Efelin C. 2006. Anatomi dan fisiologi untuk paramedic Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Syaifuddin. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat. Jakarta: EGC
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC

Jumat, 29 Juni 2012

Demam Berdarah Dengue (SKENARIO)

 Adikku yang demam dan mimisanDi kelurahan kami kemarin dilakukan fogging oleh Dinas Kesehatan Kotamadya oleh karena banyak pasien Anak yang demam berkunjung ke PUSKESMAS Kelurahan. Dan Salah satu diantaranya, Adik saya  sendiri Mintarsih yang masih berumur 8 tahun. Ia mengalami demam yang semakin tinggi disertai epistaxis ( mimisan).
Pada pemeriksaan selanjutnya adik saya dirawat inap dan diberi infus cairan dan obat vitamin dan setelah 3 hari sembuh dan istirahat dirumah sampai keadaan Umumnya baik kembali. Waktu opname ditemukan pada pemeriksaan darah, jumlah sel trombositnya sangat rendah.
Apa penyakit Adik saya dan adakah hubungannya dengan tindakan fogging di kelurahan kami ?

METODE SEVEN JUMP

I.    KLARIFIKASI ISTILAH

a.    FOGGING :  pengasapan
b.    DEMAM : kenaikan suhu diatas normal. suatu bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi.
c.    EPISTAXIS: Perdarahan yang dapat berasal dari rongga hidung, sinus paranasal, atau nasofaring. Gejala, bukan penyakit. Perdarahan bias menetes, mengucur, bias lewat hidung, bias lewat nasofaring.
d.    OPNAME : menginap di PUSKESMAS atau pun RS untuk mendapatkan perawatan.
e.    TROMBOSIT : keping-keping darah

II.    MENETAPKAN PERMASALAHAN
a.    Daerah endemik
b.    Anak berumur 8 tahun mengalami demam yang semakin tinggi dan epistaksis.
c.    Dirawat inap dan diberi infuse cairan dan obat vitamin
d.    Waktu opname ditemukan pada pemeriksaan darah, jumlah sel trombositnya sangat rendah.


III.    ANALISIS MASALAH 

EPISTAKSIS

ANATOMI VASKULAR

Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis interna.
Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :
    Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
    Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi.
Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior

DEFINISI
    Perdarahan dari rongga hidung yang dapat bersal dari rongga hidung, sinus paranasal, atau nasofaring
    Gejala, bukan penyakit
    Perdarahan biasa menetes, mengucur, bias lewat hidung, bias lewat nasofaring

ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung.
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.

1) Lokal
a.    Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.

b.     Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.

c.    Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

d.    Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh darah paru.

e.     Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar ali-
ran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.

f.     Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan daranya sangat kering.
2) Sistemik
a.Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
b.Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
c.Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
d.Gangguan endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.

PATOFISIOLOGI
•    Bila akibat trauma, ada pembuluh darah yang pecah
•    Perdarahan terjadi karena pembuluh darah kurang dapat berkontraksi:
    Pembuluh darah terletak antara periosteum & mukosa tipis
    Tidak ada bantalan yang melindungi pembuluh darah
•    Epistaksis spontan, tanpa trauma
•    Ada teori keseimbangan hormonal
•    Hormone estrogen turun, timbul rangsangan untuk terjadi perdarahan
•    PA : tidak ada pembuluh darah pecah
•    Hipotesis: darah keluar secara diapedesis melalui membrane basalis. Mekanisme yang sebenarnya belum jelas.

Sumber perdarahan:
    bagian anterior : little’s area dan A. Etmoidalis Anterior
    bagian posterior : A. Sfellopalatina dan A. Etmoidalis Posterior 


LOKASI EPISTAKSIS
Menurunkan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
1.    Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anakanak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana
2.    Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular

GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan Dapat berhenti untuk sementara Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:

a)     Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa dengan  cermat.
b)    Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang & secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c)    Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d)    Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e)    Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
f)    Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis

KOMPLIKASI
Akibat perdarahan:
    Syok
    Anemia
    Aspirasi darah
    Gagal ginjal
    Tensi turun menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner, infark miokard

Akibat pasang tampon:
    Timbul sinusitis
    Timbul OMA
    Hemotimpanum
    Air mata darah
    Septicemia
    Laserasi mukosa hidung (akibat tamponade anterior)
    Laserasi sudut bibir (akibat tampon bellocq)

PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS
Tiga prinsip utama penanggulan epistaksis :
1.    Menghentikan perdarahan
2.    Mencegah komplikasi
3.    Mencegah berulangnya epistaksis.
Alat-alat yang digunakan :lampu kepala,spekulum hidung,alat hisap,forsep bayonet,spatel lidah,kateter karet,pelilit kapas,lampu spritus,kapas,tampon posterior (tampon Bellocq),vaselin,salap antibiotik,larutan pantokain 2% atau semprotan silokain untuk anestesi lokal,larutan adrenalin1/10.000,larutan nitras argenti 20-30%,larutan triklorasetat 10%,atau elektrokauter.
Pertama sekali,keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa.Anamnese singkat sambil mempersiapkan alat.
Menghentikan perdarahan secara aktif,seperti pemasangan tampon dan kaustik lebih baik daripada memberikan obat-obatan hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti.
Pasien diminta duduk tegak (agar tekanan vaskular berkurang dan mudah membatukkan darah di faring).Bila dalam keadaan lemah atau syok,pasien dibaringkan dengan bantal di belakang punggung.Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat hisap agar hidung bersih dari bekuan darah.Kemudian pasang tampon anteror yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya.Biarkan 3-5 menit dan tentukan apakah sumber perdarahan di bagian anterior atau posterior.

PERDARAHAN ANTERIOR
Sumber perdarahan dikaustik dengan larutan nitras argenti 20-30% (asam triklorasetat 10%) atau elektrokauter.Sebelumnya diberikan analgesik topikal.Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung,maka diperlukan pemasangan tampon anterior,yaitu kapas atau kasa menyerupai pita dengan lebar ½ cm,yang diberi vaseline atau salep antibiotik agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang saat pencabutan.
Tampon anterior dimasukkan melalui nares anterior,diletakkan berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung,dan harus menekan tempat asal perdarahan.
Tampon dipertahankan 1-2 hari.
Jika tidak ada penyakit yang mendasarinya,pasien diperbolehkan rawat jalan,dan diminta lebih banyak duduk serta mengangkat kepalanya sedikit pada malam hari.
PERDARAHAN POSTERIOR
Terjadi bila sebagian besar darah yang keluar masuk kedalam faring,tampon anterior tidak dapat menghentikan perdarahan,dan pada pemeriksaan hidung tampak perdarahan di posterior superior.
Perdarahan posterior lebih sukar diatasi karena perdarahan biasanya hebat dan sukar melihat bagian posterior dari kavum nasi.Dilakukan pemasangan tampon posterior(tampon Bellocq),yaitu tampon yang mempunyai tiga utas benang,1 utas di tiap ujung dan 1 utas di tengah.Tampon harus bisa menutup koana(nares posterior).Tampon dibuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus dengan diameter 3cm.
Untuk memasang tampon Bellocq,kateter karet dimasukkan melalui salah satu nares anterior sampai tampak di orofaring dan ditarik keluar dari mulut.Ujung kateter diikat pada salah satu benang yang ada pada salah satu ujung tampon,kemudian kateter ditarik melalui hidung sampai benang keluar dari nares anterior.Dengan cara yang sama benang yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung sebelahnya.
Benang yang keluar kemudian ditarik,dan dengan bantuan jari telunjuk tampon tersebut didorong kearah nasofaring.Agar tidak bergerak,kedua benang yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kasa didepan lubang hidung.Ujung benang yang keluar dari mulut dilekatkan pada pipi.Benang tersebut berguna bila hendak mengeluarkan tampon. Jika dianggap perlu,dapat pula dipasang tampon anterior.
Pasien dengan tampon posterior harus dirawat dan tampon dikeluarkan dalam waktu 2-3 hari setelah pemasangan.Dapat diberikan analgesik atau sedatif yang tidak menyebabkan  depresi pernapasan.Bila cara diatas dilakukan dengan baik,maka sebagian besar epistaksis dapat ditanggulangi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menilai keadaan umum dan mencari etiologi,dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap,fungsi hemostatis,uji faal hati dan ginjal.Dilakukan pula pemeriksaan foto hidung,sinus paranasal,dan nasofaring,setelah keadaan akut diatasi.
KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat perdarahan hebat
1.    Syok dan anemia
2.    Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak,insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian.Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
Akibat pemasangan tampon
1.    Pemasangan tampon dapat meimbulkan sinusitis,otitis media,bahkan septikemia.
Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut meski akan dipasang tampon baru bila masih berdarah.
2.    Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrogard melalui tuba Eustachius,dapat terjadi hemotimpanum dan air mata yang berdarah.
3.    Pada waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu kencang dilekatkan.

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
DEFINISI
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut 
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)

PATOGENESIS
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement.

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.9,10
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9,1

DIAGNOSIS
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:2,5,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
• Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.
• Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji     torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak  terukur.
 
(sudah ada kriteria terbaru, tidak dalam 4 derajat lagi melainkan 3 grup)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya  demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11.
 Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.11
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5,9
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat  antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok.
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat .
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% .
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.1-3
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.12,13 Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial  (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. 14 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah  disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik. 15,16
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan Dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). 15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut  masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai  apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

DEMAM CHIKUNGUNYA
    Chikungunya, berasal dari bahasa Swahlii  yang artinya adalah bungkuk. Berdasarkan gejala penderita yang berarti posisi tubuh meliuk atau melengkung, mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi yang hebat. Karena salah satu gejala yang khas adalah timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang ada yang menamainya sebagai demam tulang atau flu tulang.
ETIOLOGI
Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIK) dan termasuk keluarga Togaviridae, genus Alphavirus dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti

PATOGENESIS
Aedes aegypti ( terutama), Aedes Albopictus, Aedes polynesiensis, dan Aedes Scutellaris

kelenjar Lympe regional

RES  Replikasi

Sirkulasi dan jaringan

Menginfeksi    : makrofag, Monosit, limfosit  ( antibody)
Pelepasan mediator                 manifestasi klinik.

PENATALAKSANAAN
Virus ini termasuk Self Limiting Disease. Termasuk pengobatan simptomatik. Cukup minum obat penurun panas dan penghilang rasa sakit. Cukup istirahat, minum dan makanan bergizi. Penyakit ini tidak menyebabkan kematian.
PENCEGAHAN
1.    Menguras, menutup dan mengubur.
2.    Memelihara ikan pemakan jentik.
3.    Menabur larvasida
4.    Kelambu
5.    Memasang kasa
6.    Menyemprot dengan insektisida
7.    Repellent
8.    Obat nyamuk.

DENGUE SHOCK SYNDROME

Adalah sindroma syok yang terjadi pada penderita dengue hemorrhagic fever (DHF) atau demam brdarah dengue.
Patofisiologi
Terjadinya peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya pembebasan plasma dan elektrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk kedalam ruang interstitial, sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrsasi, hipopeoteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang sampai kurang lebih 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi ini bila tidak segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis metabolic sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler. Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous pooling, sehingga lebih lanjut memperberat renjatan.
Terjadinya perdarahan ini disebabkkan oleh:
•    Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
•    Gangguan fungsi trombosit.
•    Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa thrombin normal. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II,V,VII,IX,X dan fibrinogen.
•    Pembekuan intravaskuler yang meluas.
Manifestasi klinis renjatan pada anak-anak:
1.    Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung.
2.    Anak semula rewel, cengeng dan gelisah lambat-laun kesadarannya menurun manjadi apti, spoor dan koma.
3.    Perubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya
4.    Tekamah nadi menurun menjadi 20mmhg atau kurang.
5.    Tekanan sistolik menurun menjadi 80mmhg atau kurang
6.    Oliguria sampai anuria
Berdasarkan gangguan sirkulasi :
1.    Renjatan berat ialah renjatan yang ditandai oleh tekanan darah yang tidak dapat diukur dan nadi tak dapat diraba.
2.    Renjatan sedang ialah tekana nadi 20 mmhg atau lebih dan atau kurang tekanan darah sistolik kurang atau sama dengan 80 mmhg.
3.    Renjatan ringan ialah tekanan sistolik mulai menurun, dimana tekanan diastolic tetap normal atau sedikit rendah.
DD/DBD    Derajat*    Gejala     Laboratorium
DD        Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyri retro-orbital, mialgia, artralgia    •    Leucopenia
•    Trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma.
•    Serologi dengue positif
DBD    I    Gejala diatas ditambah uji bendung positif.    •    Trombositopenia (<100.000/?l), bukti kebocoran plasma
DBD    II    Gejala diatas ditambah perdarahan spontan    •    Trombositopenia (<100.000/?l), bukti kebocoran plasma
DBD    III    Gejala diatas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)    •    Trombositopenia (<100.000/?l), bukti kebocoran plasma
DBD    IV    Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur    •    Trombositopenia (<100.000/?l), bukti kebocoran plasma




PENGOBATAN
 Penanganan renjatan pada penderita DBD merupakan suatu masalah yang sangat penting diperhatikan, oleh karena angka kematian akan meninggi bila renjatan tidak ditangani secara dini dan adekuat.
Dasar penanggulangan renjatan pada DBD ialah volume replacement atau penggantian cairan intravascular yang hilang, sebagai akibat dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas sehingga mengakibatkan plasma leakage.
Prinsip pengobatan dengue shock syndrome:
•    Atasi segera hipovoleminya
•    Lanjutkan penggantian cairan

YELLOW FEVER ( DEMAM KUNING )


SINONIM
Fibrie amarilla
Yellow fever adalah suatu penyakit viral yang menyerang pada hewan dan manusia yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan bersifat endemik didaerah gurun sahara bagian selatan Afrika. Dialam bebas terjadi siklus dihutan (sylvatic cycle) antara satwa primata dengan nyamuk penghiap darah, yang dikenal sebagai Jungle yellow fever.
PENYEBAB
Yellow fever disebabkan oleh virus RNA, termasuk genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus
 ini merupakan virus RNA.

MASA INKUBASI
3-6 hari

GEJALA KLINIS
Setelah masa inkubasi timbul demam, menggigil, nyeri kepala yang hebat, sakit punggung, myalgia (nyeri otot), anoreksia, nausea (mual), perdarahan pada gusi dan epistaksis. Gejala tersebut biasanya hilang setelah 3-4 hari, dan ketika pada tahap ini terjadi viremia(virus dapat ditemukan dalam darah). Pada tahap viremia ini kadang disertai jaundice (kekuningan), pendarahan (hemorrhage), muntah yang berwarna hitam (black vomit), tidak dapat kencing (anuria), dan terminal delirium.

Menurut Longmore M.
1.Bentuk ringan (mild form):
Demam, sakit kepala, nausea (mual), albuminuria, myalgia, dan bradikardi relative.
2.Bentuk berat (severe form):
Sakit kepala selama 3 hari, myalgia, anorexia (selera makan turun) ± nausea, diikuti oleh demam mendadak (abrupt fever), masa remisi (demam menurun) yang singkat, kemudian lemah (prostration), kekuningan (jaundice), (± perlemakan hati atau fatty liver), muntah darah (haematemesis) dan perdarahan lainnya, sedikit berkemih (oliguria).

Perubahan patologik
Pada hewan dan manusia meliputi Fatty liver (hati berlemak) disertai zona nekronis dibagian tengah lesi. Pada sel hati manusia dapat ditemukan intranuclear body. Pada ginjal dapat ditemukan degenerasi melemak dan perdarahan.

Diagnosis Laboratorium
Deteksi dini infeksi virus yellow fever dapat dilakukan pada periode infeksi dengan mendeteksi antigen virus menggunakan metode ELISA (enzyme linked immunosorbant assay) ataupun PCR (polymerase chain reaction). Identifikasi virus yellow fever dapat dibiakkan pada biakan cel dan diuji dengan Haemagglutination Inhibin (HI).

DIAGNOSIS BANDING
Untuk kasus ringan:
1.    Malaria
2.     infeksi Dengue

Untuk kasus berat:
1.    Leptospirosis
2.    Demam tifoid
3.    Hepatitis viral akut
4.    Demam berdarah viral, seperti: DHF, Ebola, Lassa, Marburg, Congo-Crimea, demam Rift-Valley.

TERAPI
1.    Tidak ada pengobatan yang spesifik. Pengobatan yang diberikan hanya bersifat simptomatik antara lain pemberian analgesikum,antipiretikum antacidum dan pemberian obat untuk mengurangi perdarahan pada lambung (seperti Cimetidine).
2.    Suportif: koreksi kehilangan cairan, pertahankan stabilitas hemodinamik.
3.    Pemberian antagonis H2 atau inhibitor pompa proton dapat dilakukan.

PENCEGAHAN
1.    Mengontrol vektor a Aedes aegypti,
2.    Menjaga tubuh agar tidak digigit nyamuk,
3.    Vaksinasi dengan virus yang dilemahkan (live attenuated) 17D sangat efektif, yakni 17D-204 dan 17DD yang diberikan secara subkutan.

IV.       KESIMPULAN SEMENTARA
    Dengue Hemorragic Fever. Ditandai dengan hasil pemeriksaan laborotorium (trombosit menurun) dan adanya perdarahan (epistaksis).

ANAMNESIS
Nama                         :  Mintarsih
Umur                         :  8 tahun
Jenis kelamin                     :  Perempuan
Alamat                        :  -
Keluhan utama                :  Demam yang semakin tinggi disertai epistaxis
Keluhan tambahan                :  -
Riwayat Penyakit terdahulu             :  -
Riwayat Sosial                :  tinggal di daerah endemic DBD
Riwayat Pemakaian Obat Sebelumnya    :  -

PEMERIKSAAN FISIK
1.Inspeksi : Epistaxis
2.Palpasi : Suhu tubuh menigkat
3.Perkusi : -
4.Auskultasi : -

PEMERIKSAAN LABORATORIUM : Trombosit Turun

DIAGNOSIS BANDING
-    Dengue Hemorragic Fever
-    Demam chikungunya
-    Dengue Shock Syndrome

DIAGNOSA AKHIR
DHF II

PROGNOSA
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini. Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma.
Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratories untuk menilai respon kecukupan cairan.

V.          TUJUAN PEMBELAJARAN
1.    Mengetahui Epistaksis
2.    Mengetahui DBD
3.    Mengetahui demam Chikungunya
4.    Mengetahui dengue syok syndrome
5.    Mengetahui Yellow fever (demam kuning)

VI.         BELAJAR MANDIRI
Sumber :    
-    Text book
-    Internet
-    Kamus Dorland

VII.    KESIMPULAN AKHIR
1.    Adik menderita DBD derajat 2. Dan harus dilakukan pengobatan yang adekuat agar tidak terjadi komplikasi DSS.




DAFTAR PUSTAKA

1.    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. ”Kapita Selekta Kedokteran”. jilid 2. Media Aeculapius : Jakarta
2.    Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit    Dalam:Jilid III. Edisi IV. Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam UI. Jakarta
3.    Price A Sylvia,wilson Loraine M. 2006. Patofiologi konsep klinis proses-proses penyakit .Vol 2. ed 6 .EGC: Jakarta.
4.    Rampengan T.H. dan Laurentz I.R, ”Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak”, EGC, Manado, 1992.
5.    Widoyono. 2008. Penyakit Tropis. Penerbit Erlangga : Jakarta
6.    www. Medicastore.com

Penyakit Degeneratif (SCENARIO)

 SEORANG IBU YANG MENGALAMI NYERI PUNGGUNG BAWAHSeorang ibu 46 tahun dibawa oleh keluarganya ke RS dengan keluhan nyeri punggung bawah yang sudah dialami Os. Sejak 1 tahun ini dan memberat dalam dua hari ini pasca fisioterapi ke-7. Nyeri tidak menjalar, kebas (-), rasa panas (-), riwayat trauma (+), 2 tahun lalu.
Selama ini ibu tersebut rutin berobat BAK (+) N, BAB (+) N.
V.sign : Sens : CM, TD = 140/80 mmHg, HR = 86x/Menit, RR = 24x/Menit, T = 37oc.
Apakah yang terjadi pada ibu tersebut?
Tindakan apa yang harus dilakukan?

I.    KLARIFIKASI ISTILAH
1.    Pasca Fisioterapi
Pasien setelah mendapatkan terapi pada tubuh/ fisioterapi.

II.    MENETAPKAN PERMASALAHAN
1.    Seorang ibu 46 tahun
2.    Os. Mengeluh nyeri punggung bawah yang sudah dialami Os. Sejak 1 tahun ini yang memberat dalam 2 hari ini pasca fisioterapi ke-7.
3.    Nyeri tidak menjalar, kebas (-), rasa panas (-), riwayat trauma (+) 2 tahun lalu.

III.    ANALISIS MASALAH

     Umur dan Jenis Kelamin
Adanya hubungan umur dan jenis kelamin dengan penyakit degeneratif yang sering terjadi pada orang tua, seperti osteoporosis dan osteoarthritis.

     Anatomi Tulang Belakang
Tulang   belakang merupakan  bangunan  yang kompleks  dan dapat dibagi dalam 2 bagian. Bagian Ventral  dan  Dorsal. Pada prosessus spinosus dan  transversus melekat otot otot  yang turut menunjang  dan melindungi kolumna  vertebralis. Seluruh bangunan columna vertebralis dan sekitarnya  mendapat persarafan  dari cabang cabang nervus spinalis yang sebagian besar keluar dari ruangan kanalis vertebralis  melalui foramen intervertebralis dan sebagian dari ramus meningeal  yang menginervasi duramater. Bagian Lumbal merupakan bagian  yang mempunyai keterbatasan  gerak terbesar, sehingga mempunyai  kemungkinan cedera yang lebih besar, biarpun  tulang tulang  vertebra dan ligament  didaerah pinggang lebih kokoh ( Nuartha, 2000)
Anatomi Fungsional
a.    Strukrur tulang vertebra lumbal
Tulang vertebra lumbal tersusun 5 vertebra yang bersendi satu sama lain yang berperan penting dalam menjalankan fungsinya untuk menyangga tubuh dan alat gerak tubuh. Susunan tulang vertebra secara umum terdiri dari corpus, arcus, dan foramen vertebra.

1)    Korpus
Merupakan bagian terbesar dari vertebra, berbentuk silindris yang mempunyai beberapa facies (dataran) yaitu : facies anterior berbentuk konvek dari arah samping dan konkaf dari arah cranial ke caudal. Facies superior berbentuk konkaf pada lumbal 4-5 (Kapandji, 1990).

2)    Arcus
Merupakan lengkungan simetris di kiri-kanan dan berpangkal pada korpus menuju dorsal pangkalnya disebut radik arcus vertebra dan ada tonjolan ke arah lateral yang disebut procesus spinosus (Susilowati, dkk, 1993).

3)    Foramen vertebra
Merupakan lubang yang besar yang terdapat diantara corpus dan arcus bila dilihat dari columna vetebralis, foramen vetebra ini membentuk suatu saluran yang disebut canalis vetebralisalis, yang akan terisi oleh medula spinalis (Susilowati, dkk, 1993).

b.    Diskus intervertebralis
1.    Bagian dalam disebut nukleus pulposus merupakan bahan gelatinosa dengan sifat daya pengikat air yang kuat karena mengandung 88% air
2.    Bagian tepi disebut annulus fibrosus yang terdiri dari atas serabut-serabut kolagen yang tersusun konsentrasi dan fibrikartilago yang berbeda dalam keterangan oleh nukleus pulposus (Platzer, 1992)

Merupakan struktur elastis diantara korpus vertebra. Struktur diskus bagian dalam disebut nucleus pulposus, sedangkan bagian tepi disebut annulus fibrosus. Diskus berfungsi sebagai bantalan sendi antara korpus yang berdekatan sebagai shock breaker pada berbagai tekanan dalam menumpu berat badan (Kapandji, 1990).

c.    Stabilitas
Stabilitas pada vertebra ada dua macam yaitu stabilisasi pasif dan stabilisasi aktif. Untuk stabilisasi pasif adalah ligament yang terdiri dari :
a.    Ligament longitudinal anterior yang melekat pada bagian anterior tiap diskus dan anterior korpus vertebra, ligament ini mengontrol gerakan ekstensi,
b.    Ligament longitudinal posterior yang memanjang dan melekat pada bagian posterior dikcus dan posterior korpus vertebra. Ligament ini berfungsi untuk mengontrol gerakan fleksi
c.    Ligament  flavum terletak di dorsal vertebra di antara lamina yang berfungsi melindungi medulla spinalis dari posterior,
d.    Ligament  tranfersum melekat pada tiap procesus tranversus yang berfungsi mengontrol gerakan fleksi.

Sedangkan yang berfungsi untuk stabilisasi aktif adalah adalah otot-otot yang berfungsi untuk penggerak lumbal yang terletak di sebelah anterior, lateral maupun posterior. Otot-otot disebelah anterior dan lateral, antara lain : m.rektus abdominis, m.obliqus internus, m.psoas mayor, dan m.quadratus lumborum. Otot-otot di sebelah posterior Antara lain: m.longisimus thorakalis, m.iliocostalis.


     Nyeri

•    Defenisi
Nyeri adalah suatu mekanisme protektif bagi tubuh, yang timbul bilamana jaringan sedang dirusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri.

•    Sifat-sifat nyeri
Nyeri telah digolongkan kedalam tiga jenis utama : tertusuk, terbakar, dan pegal. Istilah lain yang digunakan untuk melukiskan berbagai jenis nyeri termasuk nyeri berdenyut, nyeri memualkan, nyeri kejang, nyeri tajam, nyeri listrik, dan sebagainya, kebanyakan sudah diketahui oleh hampir setiap orang.
Nyeri tertusuk dirasakan bila suatu jarum ditusukkan ke dalam kulit atau bila kulit dipotong dengan pisau. Ia juga sering dirasakan bila daerah kulit yang luas mengalami iritasi kuat.
Nyeri terbakar adalah, seperti yang dinyatakan oleh namanya, jenis nyeri yang dirasakan bila kulit terbakar. Ia dapat nyeri sekali dan merupakan jenis nyeri yang paling mungkin untuk menyebabkan penderitaan.
Pegal tidak dirasakan di permukaan tubuh, tetapi, malahan, merupakan suatu nyeri dalam dengan berbagai tingkat gangguan. Pegal dengan intensitas rendah di daerah tubuh yang tersebar luas dapat bersatu menjadi suatu sensasi yang sangat tidak enak.
Nyeri dapat juga diklasifikasikan 2 jenis utama :
1.    Fast Pain ( nyeri cepat)
2.    Slow Pain (nyeri lambat)
Fast Pain ( nyeri cepat) terjadi kira-kira 0,1 detik bila rangsangan nyeri diberikan. Nyeri lambat dapat timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian meningkat secara lambat dalam beberapa detik sampai beberapa menit.
Fast Pain juga diberi nama lain seperti ; nyeri tajam, nyeri tusuk, nyeri akut, nyeri elektris. Nyeri cepat ini bisa terjadi bila tertusuk jarum pada kulit, kena pisau tajam atau bila kena listrik. Nyeri cepat atau nyeri tajam ini tidak dirasakan pada jaringan bagian dalam tubuh.
Nyeri lambat (slow pain) juga diberikan nama lain yaitu nyeri terbakar, aching pain, nyeri mendenyut, nyeri yang memualkan dan nyeri kronis. Nyeri ini dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang dapat terjadi pada permukaan kulit dan juga pada jaringan yang lebih dalam atau pada organ tubuh.
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Reseptor Nyeri dan Perangsangannya
    Reseptor nyeri pada kulit dan jaringan lain adalah ujung saraf bebas ( free nerve ending). Reseptor ini menyebar pada permukaan kulit dan juga pada jaringan lebih dalam seperti periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, falx cerebri dan tentorium dari cranium.
Ada 3 jenis rangsangan yang merangsang reseptor nyeri :
1.    Rangsangan mekanik
2.    Rangsangan termal (suhu)
3.    Rangsangan chemical (kimia).
Kebanyakan saraf nyeri ini dapat dirangsang oleh berbagai jenis rangsangan nyeri tersebut.
Beberapa serat saraf nyeri akan memberikan respons terhadap regangan mekanik yang ekstensif dan yang lain terhadap rangsangan sangat panas atau sangat dingin dan ada serat saraf lain yang terangsang oleh bahan kimia dari jaringan.
Secara umum fast pain dirangsang secara : mekanik dan termal sedangkan slow pain dirangsang oleh semua jenis rangsangan itu (mekanik, termal, dan chemical).

•    Macam-macam nyeri
Nyeri Alihan (‘Referred Pain’)
    Sering orang merasakan nyeri dalam suatu bagian tubuhnya yang cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri. Nyeri ini disebut referred pain. Kadang-kadang, nyeri bahkan dapat dialihkan dari satu permukaan tubuh ke permukaan tubuh lainnya, tetapi ia lebih sering dimulai dalam salah satu organ viseral dan dialihkan ke suatu daerah di permukaan tubuh. Juga, nyeri mungkin berasal dari suatu viseral dan dialihkan ke daerah profunda lain yang letaknya tidak tepat sama dengan lokasi viseral yang menyebabkan nyeri alihan ini sangat penting karena banyak penyakit viseral tidak menyebabkan gejala lain selain nyeri alihan.
Nyeri Visceral
Nyeri dari berbagai daerah visceral perut, dada merupakan salah satu dari beberapa kriteria yang dipergunakan untuk menetapkan diagnosa klinis. Pada umumnya daerah visceral tidak mempunyai reseptor sensoris untuk modalitas sensasi selain dari pada nyeri.
Nyeri Parietal
Seringkali sensasi juga dihantarkan dari visceral melalui serabut saraf yang mensarafi peritonium parietal, pleura parietal, perikardium parietal. Permukaan parietal dari rongga visceral terutama disuplai serabut saraf spinal yang menembus dari permukaan tubuh ke dalam.
Sifat-sifat nyeri visceral parietal
Nyeri parietal yang berasal dari visceral seringkali bersifat sangat tajam dan menusuk, meskipun dapat pula terbakar dan aching jika rangsangan nyeri itu tersebar. Hal ini disebabkan dinding parietal seperti kulit disuplai dengan persarafan ekstensif yang meliputi serabut delta “cepat” yang berbeda dari serabut dalam lintasan nyeri visceral sejati adalah simpatis.

Penyebab Nyeri Viseral
Rangsang apa pun yang merangsang ujung saraf nyeri di daerah visera yang tersebar menyebabkan nyeri viseral. Rangsang seperti itu meliputi iskemik, jaringan viseral, kerusakkan kimia pada permukaan viseral, spasme otot polos di dalam suatu viseral berongga, atau peregangan ligamen.
Hampir semua isyarat nyeri visera yang berasal dari dalam rongga dada dan perut dihantarkan melalui serabut saraf sensoris yang berjalan di dalam saraf simpatis. Serabut ini dari jenis serabut C kecil dan, oleh karena itu, hanya dapat menghantarkan nyeri jenis terbakar dan pegal.

Nyeri Punggung Bawah
Cidera pada punggung atau nyeri punggung dapat dicegah dengan melakukan stretching (penguluran) secara rutin. Penguluran pada otot punggung dapat mengurangi frekuensi nyeri punggung. Penguluran otot punggung sebaiknya dilakukan pada pagi hari setelah bangun tidur atau baik juga dilakukan dimalam hari sebelum tidur. Kebanyakan orang memperoleh faedah dari pelaksanaan streeching secara teratur, bagaimanapun juga sebelum anda melaksanakan program latihan (olahraga) diskusikan rencana program anda terlebih dahulu dengan dokter yang berkompeten.
Ketika melakukan program streeching sebaiknya anda melakukan olahraga sampai berakhir baru anda lakukan stretching secara perlahan dan benar.Anda seharusnya tidak mengalami nyeri hebat atau ketidaknyamanan yang berarti pada punggung jika anda melakukan penguluran rutin dan benar. Dalam kasus ini, bila anda melakukan penguluran terlalu jauh dari batas penguluran yang wajar akibatnya otot terasa nyeri dan cidera dapat terjadi. Hindari gerakan yang memantul pada penguluran, jaga agar gerakan perlahan dan lembut. Setelah selesai melakukan penguluran dianjurkan meminum banyak air.
Tehnik angkat angkut dan bekerja secara ergonomis adalah dua hal penting untuk menghindari cidera punggung.Jangan pernah mengangkat benda yang terlalu berat dengan menggunakan otot punggung kamu! Tetapi gunakan otot kaki (lebih kuat) untuk mengangkatnya. Ketika duduk dikursi untuk waktu yang lama, luangkan untuk berjalan sebentar dan pastikan otot punggung anda juga beristirahat selain itu gunakan pula peralatan yang tepat untuk adaptasi seperti sandaran lumbal untuk menjaga posisi punggung yang benar.
Penyebab nyeri punggung :

1. Ketegangan otot
Yang paling banyak menyebabkan nyeri punggung adalah ketegangan otot. Ini terjadi ketika adanya tekanan kuat yang tidak terduga pada otot punggung, keseleo atau tarikan pada satu atau beberapa otot punggungakan mengakibatkan nyeri punggung karena otot punggung terdiri lebih dari satu otot. Otot terasa nyeri sehingga punggung merasakan nyeri pula.


2.Ketegangan pada penguat sendi
Ketegangan penguat sendi adalah penyebab umum lainnya yang menyebabkan nyeri punggung, ini terjadi ketika penguat sendi punggung terulur secara berlebihan. Dampak lebih jauh bila penegangan penguat sendi ini diabaikan adalah terjadinya ketegangan otot.

3. Herniasi pada discus (bantalan sendi )
Herniasi pada bantalan sendi menyebakan nyeri punggung karena adanya penekanan pada syaraf spinal dimana syaraf tersebut keluar dari columna spinal, ini terjadi biasanya sebagai hasil dari gerakan getaran kuat yang berulang pada punggung (dilami oleh sopir truck atau orang yang mengangkat beban yang berat secara tiba-tiba tanpa mengindahkan tehnik angkat-angkut yang benar) cidera ini menghasilkan nyeri punggung tipe radikuler yang mana nyeri tepat pada cidera dan bila dibiarkan lama akan berpengaruh pada syaraf. Sciatica adalah contoh dari nyeri punggung Tipe radikuler.

4. Osteoporosis
Osteoporosis umumnya menyebabkan nyeri punggung pada wanita. Sifat dari penyakit ini adalah penurunan kepadatan tulang secara progresif. Hasilnya terjadi penipisan pada jaringan tulang, sehingga dampaknya mudah terkena patah tulang atau kerusakan tulang.

Penyakit-penyakit penyebab LBP
a. HNP
HNP adalah keluar/menonjolnya nucleus pulposus melalui annulus fibrosus kapsul (Calliet, 1981) adanya trauma langsung atau tidak langsung pada diskus intervertebralis akan menyebabkan kompresi hebat dan frakmentasi Nucleus ulposus sehingga anullus menjadi pecah bahkan dapat robek. Nucleus pulposus yang tertekan hebat akan mencari jalan keluar dan melalui robekan
anullus fibrosus mendorong ligamentum longitudinal terjadilah hernia. Hal itu akan menyebabkan penyempitan jarak antara corpus vertebra, yang akhirnya akan mengiritasi akar saraf yang masuk ke foramen intervertebralis sehingga timbul nyeri yang hebat, kadang – kadang menjalar ke tungkai.

b) Lumbal spinal stenosis
Spinal stenosis adalah penyempitan kanal spinal dengan kompresi saraf, dengan atau tanpa keluhan. Kelainan yang menyebabkan stenosis pada spinal adalah perubahan hypertrophic degenerative dari facet dan penebalan ligementum flavum.

c) Spondylolisthesis
Spondylolisthesis adalah kelainan yang disebabkan perpindahan ke depan (masuk; tergelincir) satu bodi vertebra terhadap vertebra di bawahnya. Tersering L4-L5.


d) Spondylosis
Spondylosis adalah kelainan degeneratif yang menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi normal spinal. Walaupun peran proses penuaan adalah penyebab utama, lokasi dan percepatan degenerasi bersifat individual. Proses degeneratif pada regio cervical, thorak, atau lumbal dapat mempengaruhi discus intervertebral dan sendi facet (Kalim et al, 1996).

     TRAUMA TULANG BELAKANG
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa berupa :
1.    Fraktur
2.    Dislokasi
FRAKTUR
Pada fraktur, yang patah bisa lamina, pedikel, prosesus transverses, diskus intervertebralis bahkan korpus vertebralnya. Bersama-sama dengan fraktur tulang belakang, ligamentum longitudinal posterior dan dura bisa terobek, bahkan kepingan tulang belakang bisa menusuk ke dalam kanalis vertebralis. Arteri yang mendarahi medulla spinalis serta vena-vena yang mengiringinya bisa ikut terputus.
DISLOKASI
Pada dislokasi tulang belakang, kanalis vertebralis pada tempat dislokasi menjadi sempit. Pembuluh darah dan radiks dorsalis/ ventralis bisa ikut tertarik atau tertekan. Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat-tempat antara bagian yang sangat mobile dan bagian yang terfiksasi, seperti C1-C2, C5-C6 dan T11-12. Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap.
Gangguan traumatic terhadap tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatic di medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur dan dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi menimbulkan lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai trauma indireck atau tak langsung. Tergolong dalam trauma indireck ini ialah “whiplash”, jatuh tersusuk atau dengan badan berdiri atau terdampar gaya eksplosi. Yang dikenal sebagai “whiplash” ialah gerakan dorsofleksi dan anteofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak, bagaikan gerakan memecut. Trauma “whiplash” terjadi pada tulang belakang cervical.

MANIFESTASI LESI TRAUMATIK DI MEDULA SPINALIS
-    Laserasio medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma langsung, seperti yang di sebabkan peluru atau tusukan. Pada umumnya gaya trauma yang menimbulkan laserasio medulla spinalis, mematahkan menggeserkan ruas tulang belakang(fraktur dan dislokasio). Tergantung pada segmen yang terkena, maka gambaran lesi transversa medulla spinalis akan dijumpai.
-    Hematomielia ialah perdarahan di dalam medulla spinalis. Hematomielia traumatic berbentuk lonjong dan berkedudukan di substansia grisea. Trauma yang bersangkutan bisa bersifat “whiplash”, jatuh dari jarak tinggi dengan sikap badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi ataupun fraktur dislokasio. Gambaran klinisnya menyerupai siringomielia atau hidromielia.
-    Kompresi medulla spinalis. Karena dislokasi medulla spinalis bisa terjepit oleh penyempitan oleh kanalis vertebralis di tempat dislokasio. Suatu segmen medulla spinalis bisa tertekan oleh hematom ekstramedular traumatic, bisa juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip antara dura dan kolumna vertebralis. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis.
-    Jika radiks terputus akibat truma tulang belakang, maka gejala deficit sensorik dan motorik yang dijumpai, memperlihatkan ciri radikular. Ikut terputusnya arteria radikularis, terutama arteria radikularis magna yang jalannya bersama-sama dengan radiks T8 atau T9 akan menimbulkan deficit senso motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan syndrome sistema anastomosis arterial anterior spinal.

PENATALAKSANAAN CEDERA MEDULLA SPINALIS
Penanganan dan penatalaksanaan dini penderita cedera medulla spinalis sangat penting dilakukan untuk mencegah kerusakan neurologik lebih lanjut.
Penanganan awal pada curiga cedera medulla spinalis adalah pada jalan napas, ventilasi, oksigenasi, dan dukungan sirkulasi sebelum resusitasi dan evaluasi neurologik. Penderita cedera medulla spinalis setinggi C4 atau lebih tinggi tidak dapat bernapas spontan. Perasat  jaw thrust telah dirancang untuk memperkecil gerakan leher sewaktu dilakukan resusitasi. Prioritas utamanya adalah membuka jalan napas yang efektif.
Hipoksia harus dihilangkan secepat mungkin karena hipoksia sangat berperan dalam terjadinya cedera sekunder yang menyertai trauma medulla spinalis. Rumatan MAP sebesar  100 mm Hg memungkinkan perfusi medulla spinalis. Pasien dipantau ketat untuk mencegah pembebanan cairan berlebihan yang menyebabkan pasien beresiko terkena gagal jantung dan edema paru. Hipotensi juga diobati dengan vasopresor, seperti dobutamin dan dopamin yang memiliki efek inotropik dan kronotropik.
Metilprednisolon merupakan pengobatan standar bagi cedera medulla spinalis. Obat ini diberikan dalam 3 jam pertama setelah terjadinya cedera. pasien mendapat keuntungan dari pengobatan yang diberikan hingga 8 jam setelah cedera.
Saat ini pengobatan terdiri dari tirah baring hingga nyeri mereda. Fraktur kompresi tunggal pada korpus vertebra dengan angulasi fleksi medulla spinalis tanpa defisit medulla spinalis, dapat diobati dengan meletakkan pasien pada alat (kerangka) yang didesain khusus (misal, stryker, bradford, foster), menggunakan perpanjangan terhadap regangan ligamen spinal anterior dan memperluas korpus vertebra.

     JENIS – JENIS PENYAKIT SENDI DEGENERATIF
1 OSTEOARTRITIS
OSTEOARTRITIS disebut juga penyakit sendi degenerative atau arthritis hipertrofi.Penyakit ini  merupakan penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinis ditandai dengan nyeri,deformitas,pembesaran sendi dan hambatan gerak pada sendisendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban. Sering kali berhubungan dengan trauma atau mikrotrauma yang berulang-ulang, obesitas. Stress oleh beban tubuh dan penyakit-penyakit sendi lainnya.
Etiologi
Etiologi penyakit ini tidak diketahui secara pasti. Ada beberapa faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit ini yaitu :
1.    Usia lebih dari 40 tahun
2.    Jenis kelamin (wanita lebih sering).
3.    Suku bangsa
4.    Genetic
5.    Kegemukan dan penyakit metabolic
6.    Cedera sendi, pekerjaan dan olah raga
7.    Kelainan pertumbuhan
8.    Kepadatan tulang , dll.
Criteria diagnose
•    Nyeri sendi
•    Kaku sendi < 30 menit
•    Bila keadaan lanjut dapat ditemukan deformitas sendi
•    Rongent sendi yang terkena dengan gambaran
    Osteofit pada tepi tulang
    Peneyempitan celah sendi
    Kista subkondral
    Periarticular ossicle pada PIP dan DIP
    Perubahan bentuk tulang
Pemeriksaan penunjang
•    Rongent sendi yang terkena
•    Analisis cairan sendi bila ada efusi
•    Pemeriksaan darah tepi sedrehana terutama LED

Terapi
•    Konservatif
    Analgetika sederhana (OAINS) seperti parasetamol
    Diet rendah kalori, bila kegemukan
    Rehabilitasi medis (terapi fisik )
•    Operatif
    Bila sudah timbul deformitas sendi
Pemulihan
Kerusakan yang telah terjadi tidak dapatdiperbaiki dan proses penyakit tetap berjalan, namun dengan pengobatan yang baik dengan menggunakan OAINS serta tindakan rehabilitasi medis, gangguan fungsional akibat OA dapat dihilangkan atau dikurangi sehingga penderita dapat mandiri melakukan aktivitas sehari-hari.

Prognosa
Penderita dapat melakukan aktivitas sehari-hari sebaik mungkin.

2. Spondylosis adalah kelainan degeneratif yang menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi normal spinal. Walaupun peran proses penuaan adalah penyebab utama, lokasi dan percepatan degenerasi bersifat individual. Proses degeneratif pada regio cervical, thorak, atau lumbal dapat mempengaruhi discus intervertebral dan sendi facet.

PENYAKIT PAGET
Defenisi
    Penyakit paget merupakan gangguan dimana terdapat peningkatan yang berlebihan dari turnover tulang pada bagian yang terlokalisir dari skeleton.

Epidemiologi
    Penyakit Paget sering terjadi pada populasi keturunan Eropa bagian utara. Studi radiologis di United Kingdom yang dilakukan di tahun 1970 menyatakan bahwa prevalensi pada waktu itu sebesar 5,4 % populasi setelah berumur 55 tahun. Ada peningkatan tergantung umur dimana prevalensi pada pasien lebih dari 85 tahun adalah hampir lima kali di atas mereka yang berumur kurang dari 60 tahun.
Gambaran Klinis
•    Nyeri : nyeri tulang, nyeri sendi
•    Deformitas : tulang panjang membengkok, deformitas tengkorak/kranium
•    Fraktur : komplit, fraktur fisura
•    Neurologis : ketulian, palsy serabut saraf kranial lainnya, kompresi korda spinalis
•    Transformasi neoplastik
Pemeriksaan Penunjang
•    Radiologis
•    Biokimiawi
•    Histologis
Penatalaksanaan
•    Analgetik
•    Bisfosfonat
•    Kalsitonin
•    Pembedahan

OSTEOPOROSIS
Definisi
    Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
Faktor Resiko
Umur
    tiap peningkatan 1 dekade, risiko meningkat 1,4-1,8 Genetik
    Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia)
    Seks (perempuan > laki-laki)
    Riwayat keluarga
Lingkungan
    Defisiensi kalsium
    Aktivitas fisik kurang
    Obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin)
    Merokok , alkohol
    Risiko terjatuh yang meningkat ( gangguan keseimbangan, licin, gangguan penglihatan)
Hormonal dan Penyakit Kronik
    Defisiensi estrogen, androgen
    Tirotoksikosis, hiperparratiroidisme primer, hiperkortisolisme
    Penyakit kronik (sirosis hepatis, gagal ginjal, gastrektomi)
Sifat fisik tulang
    Densitas (massa)
    Ukuran dan geometri
    Mikroarsitektur
    Komposisi
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga merupakan faktor resiko osteoporosis, oleh sebab itu harus diperhatikan masalah ini pada penduduk yang tinggal di daerah 4 musim.

Patogenesis
Patogenesis Osteoporosis Tipe I
    Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cellsl dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF –α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian, penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkat produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.
    Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal.
Patogenesis Osteoporosis Tipe II
    Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar 42 % dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58 %. Pada dekade kedelapan dan sembilan kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodelling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab penurunan fungsi osteoblas pada orangtua, di duga karena penurunan kadar estrogen dan IGF-1.
    Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.
Pendekatan Klinis Osteoporosis
Anamnesis
    Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi pasien osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan utama dapat langsung mengarah kepada diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, kesemutan dan ras kebal disekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia. Pada orang tua/dewasa, tubuh menjadi pendek, nyeri tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi ekstraskeletal, kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolik.
Pemeriksaan Penunjang
•    Pemeriksaan Biokimiawi Tulang
    Pemeriksaan biokimiawi tulang terdiri dari kalsium total dalam serum, ion kalsium, kadar fosfor serum, kalsium urin, fosfat urin, osteokalsin serum, piridinolin urin, dan bila perlu hormon paratiroid dan vitamin D.
•    Pemeriksaan Radiologis
•    Pemeriksaan Densitas Massa Tulang (DENSITOMETRI)
•    Sonodensitometri


Penatalaksanaan
    Estrogen
    Raloksifen
    bisfosfonat


     Rencana Teknologi Intervensi Fisioterapi
Teknologi Fisioterapi yang digunakan ialah Infra Red (IR) Massage, terapi latihan dengan metode William Fexion Exercise.
1. Sinar Infra Merah
Sinar Infra Merah adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700 Ao – 4.000.000 Ao yang digunakan untuk tujuan pengobatan berkisar antara 7.700 Ao - 120.000 Ao atau 150.000 Ao (Amstrong) dimana panjang gelombang ini digolongkan menjadi 2 golongan yaitu :

a. Gelombang Panjang (Non Penetrating)
Panjang gelombang di atas 12.000 Ao–150.000 Ao, kedalaman penetrasinya sampai lapisan superfisial epidermis yaitu sekitar 0,5 mm.
b. Gelombang Pendek (Penetrating)
Panjang gelombang antara 7.700 Ao – 12.000 Ao, kedalaman dan penetrasinya sampai jaringan subcutan kira-kira 5 – 10 mm dan dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh limfe, ujung-ujung saraf dan jaringan lain di bawah kulit.
Generator Infra Merah pada dasarnya dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
(1) Non luminous yang hanya mengandung IR saja, pengobatan ini sering disebut “IR radiation” dan (2) luminous di samping IR juga sinar “Visibel” dan ultraviolet, pengobatan sering disebut “radiasi panas”. Jika sinar ini diabsorbsi oleh kulit maka panas akan timbul pada tempat di mana sinar tersebut diabsorbsi sehingga dapat meningkatkan proses metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah, rilexasi otot dan mengurangi (menghilangkan) rasa sakit.
Disamping itu juga dapat berpengaruh terhadap pigmentasi, mengaktifkan kelenjar-kelenjar keringat bahkan destruksi jaringan. Apabila penyinaran diberikan menimbulkan temperatur cukup tinggi dan lama sehingga di luar toleransi pasien. Oleh karena itu, pemberian Infra Merah ini harus disesuaikan dengan toleransi pasien.
a. Efek Fisiologis dari Infra Merah
Adalah peningkatan proses metabolisme, vasodilatasi, pembuluh darah, pigmentasi, pengaruh terhadap syaraf sensoris dengan pemanasan jaringanmembentuk efek sedatif, pengaruh terhadap jaringan otot adalah untuk relaxasi serta mengaktifkan kelenjar keringat.
b. Efek Terapeutik dari Sinar Infra Merah
Adalah mengurangi atau menghilangkan rasa sakit, meningkatkan suplay darah, relexasi otot dan menghilangkan sisa hasil metabolisme (Pauline, 1973)
c. Indikasi dari Sinar Infra Merah
1) Kondisi peradangan setelah subacute (kontusio, muscle strain, musclesprain, trauma sinovitis
2) .Arthritis (rheumatoid artitis, osteoarthritis, myalgia, lumbago,neuralgia, neuritis)
3) Gangguan sirkulasi darah (troboangitisobliterans, tromboplebitis, raynold’s diseace)
4) Penyakit kulit (folliculitis, furuncolosi, wound)
5) Persiapan exercise dan Massage
d. Kontra Indikasi dari Infra Merah
1) Daerah yang infusiensi pada darah
2) Gangguan sensibilitas kulit
3) Adanya kecenderungan terjadinya pendarahan
e. Waktu yang digunakan untuk terapi pada kondisi akut 10 – 15 menit, sedang untuk kondisi kronis diberikan selama 15 – 30 menit.
2. Massage
a. Stroking
Stroking adalah manipulasi gosokan yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan tangan, sebaliknya diberikan dari dagu ke atas pelipis dan dari tengah dahi turun kebawah menuju ke telinga. Stroking ini harus dikerjakan dengan gentle dan menimbulkan rangsangan pada otot-otot wajah.
b. Effleurage
Effleurage adalah suatu pergerakan stroking dalam atau dangkal, effleurage pada umumnya digunakan untuk membantu pengembalian kandungan getah bening dan pembuluh darah di dalam ekstrimitas tersebut. Effleurage juga digunakan untuk memeriksa dan mengevaluasi area nyeri dan ketidak teraturan jaringan lunak atau peregangan kelompok otot yang spesifik. Effleurage
menimbulakan efek yang bersifat rel
c. Friction
Friction atau tekanan dalam adalah untuk menggerakkan dan memisahkan jaringan lembut. Friction adalah memenuhi pergerakan ke serabut, seperti di dalam urat daging atau ligament, strukturnya: membujur atau gerak lingkar bertujuan untuk melepaskan kekakuan otot dan untuk mengurangi kerusakan jaringan lunak.
d. Vibration
Vibration adalah gerakan getaran mengendurkan jaringan lembut atas dan tingkatkan peredaran. Vibration dapat menenangkan atau merangsang menurut intensitas dan kecepatan. Vibration pada umumnya digunakan pada otot yang sangat lemah, gas dalam perut, atau luka sambungan spesifik (Hans W. Blaser, 1988 ).
Indikasi dan kontra indikasi pemberian massage
a) Indikasi pemberian massage
Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberian massage antara lain: (1) kasus-kasus yang memerlukan relaksasi otot, (2) kasus oedem pada kondisi pasca operasi, (3) kasus perlengketan jaringan terutama pada kondisi pasca operasi, (4) kasus yang memerlukan perbaikan sirkulasi darah (Tappan,1998).
b) Kontra indikasi pemberian massage
Beberapa kondisi yang merupakan kontra indikasi pemberian massage antara lain: (1) penyakit yang penyebarannya melalui kulit,limfe dan pembuluh darah, (2) daerah perdarahan, (3) daerah peradangan akut, (4) daerah dengan gangguan sensibilitas, (5) penyakit dengan gangguan system kekebalan tubuh, (6) penyakit dengan gangguan sirkulasi darah, seperti arhytmyacordis, thromboplebitis, atherosclerosis berat dan vena varicose berat (Tappan,1998).
Efek Mekanis
1) Membantu sirkulasi darah balik
Gosokan yang dalam pada vena akan mengakibatkan tekanan venamenurun sehingga berakibat sirkulasi tekanan arteri naik yang berakibat sirkulasi darah menjadi lancar.


2) Membantu sirkulasi cairan limfe
Massage yang pelan dan ritmik dapat melaancarkan sirkulasi darah (arah gerakan selali menuju jantung). Massage juga membantu aliran pembuluh darah limfe tetapi dengan di tambah gerakan aktif.
3) Straching jaringan
Dengan dilakukan penekanan pada otot-otot tertentu, maka otot-otot tersebut akan terulur.
4) Mencerai beraikan perlengketan jaringan Scar tissue (jaringan parut) akibat dari luka bakar dengan dilakukan Massage dengan tehnik friksin secara continyu pada jaringan sub cutan pada jaringan scar tissue akan membebaskan perlengketan jaringan tersebut.
Efek fisiologis
1) Menaikkan metabolisme
Kontraksi otot akan menaikkan metabolisme
2) Mencegah vonestatik

3. Terapi Latihan dengan William Fexion Exercise
Dr. Paul William pertama kali memperkenalkan program latihan ini pada tahun 1937 untuk pasien dengan Low back pain (LBP) kronik sebagai respon atas pengamatan klinik dimana kebanyakan pasien yang pernah mengalami LBP dengan degenerasi vertebra hingga penyakit degeneratif discus
Latihan ini terdiri dari 6 bentuk gerakan yang dirancang untuk mengurangi nyeri punggung dengan memperkuat otot-otot yang memfleksikan lumbosacral spine terutama otot abdominal dan otot gluteus maksimus dan meregangkan kelompok otot ekstensor (Basmajian, 1978).

Bentuk-bentuk latihannya sebagai berikut :
a. William Flexion Exercise nomor 1
Posisi awal : terlentang, kedua lutut menekuk dan kedua kaki rata pada permukaan matras.
Gerakan : pasian diminta meratakan pinggang dengan menekan pinggang ke bawah melawan matras dengan mengkontraksikan otot perut dan otot pantat. Setiap kontraksi ditahan 5 detik kemudian lemas, ulangi 10 kali. Usahakan pada waktu lemas pinggang tetap rata.
b. William Flexion Exercise nomor 2
Posisi awal : sama dengan nomor 1.
Gerakan : pasien diminta mengkontraksikan otot perut dan memfleksikan kepala, sehingga dagu menyentuh dada dan bahu terangkat dari matras. Setiap kontraksi ditahan 5 detik, kemudian lemas, ulangi sebanyak 10 kali.

c. William Flexion Exercise nomor 3
Posisi awal : sama dengan nomor 1
Gerakan : pasien diminta untuk memfleksikan satu lutut kearah dada sejauh mungkin, kemudian kedua tangan mencapai paha belakang dan menarik lututnya ke dada. Pada waktu bersamaan angkat kepala hingga dagu menyentuh dada dan bahu lepas dari matras, tahan 5 detik. Latihan diulangi pada tungkai yang lain, ulangi latihan sebanyak 10 kali. Kedua tungkai lurus naik harus dihindari, karena akan memperberat problem pinggangnya.

d. William Flexion Exercise nomor 4
Posisi awal : sama dengan nomor 1
Gerakan : pasien diminta untuk melakukan latihan yang sama
dengan nomor 3, tetapi kedua lutut dalam posisi menekuk, dinaikkan ke atas dan ditarik dengan kedua tangn kearah dada, naikkan kepala dan bahu dari matras, ulangi 10 kali. Pada waktu menaikkan kedua tungkai ke atas sejauh mungkin ia rapat, baru ditarik dengan kedua tangan mendekati dada.

e. William Flexion Exercise nomor 5
Posisi awal : exaggregated starter’s position
Gerakan : kontraksikan otot perut dan gluteus maksimus sertatekankan dada ke paha, tahan 5 hitungan dan rileks. Frekuensi 10 kali / sesi,pertahankan kaki depan rata dengan lantai dan berat badan disangga oleh kakibagian depan tungkai yang belakang.

f. William Flexion Exercise nomor 6
Posisi awal : berdiri menempel dan membelakangi dinding dengantumit 10-15 cm di depan dinding, lumbal rata dengan dinding.
Gerakan : satu tungkai melangkah ke depan tanpa merubah posisi lumbal pada dinding, tahan 10 hitungan dan rileks. Frekuensi 10 kali / sesi. Bila latihan terlalu berat, lamanya penahanan dapat dikurangi.
Latihan William Flexion Exercise ini disamping efektif untuk nyeri punggung bawah, juga memperbaiki fleksibilitas otot-otot punggung dan sirkulasi darah yang membawa nutrisi ke discus intervertebralis (Basmajian, 1978).

IV. KESIMPULAN SEMENTARA
Ibu tersebut mengalami nyeri punggung bagian bawah yang kemungkinan disebabkan oleh adanya pengaruh dari trauma yang pernah dialaminya.

ANAMNESIS

Nama         :     Eva Marlina
Umur         :     46 tahun
Alamat         :    -
Jenis kelamin    :    pr
Pekerjaan    :    -

Anamnesis penyakit   
Keluhan utama            :    nyeri punggung bawah yang sudah dialami sejak 1 tahun
Keluhan tambahan             :    nyeri punggung memberat dalam 2 hari pasca fisioterapi   ke-7,   nyeri tidak menjalar, kebas (-), rasa panas  (-)
Riwayat penyakit sebelumnya    :    trauma 2 tahun yang lalu
Riwayat penyakit keluarga        :    -
Pengobatan sebelumnya        :    selama ini ibu tersebut rutin berobat

Status Present    :   
sens  :  CM
TD     :     140/80 mmHg
HR     :     86x/menit
RR     :     24x/ menit
T        :     37oC

Pemeriksaan fisik
Inspeksi    :    -
Palpasi    :    -
Perkusi    :    -
Auskultasi    :    -

Diagnosa awal
Low back pain

Diagnosa banding
1.    Osteoarthritis
2.    osteoporosis
3.    HNP
4.    Lumbal spinal stenosis
5.    Spondylolisthesis
6.    Spondylosis

Diagnosa akhir
Penyakit degeneratif

V. TUJUAN PEMBELAJARAN
1.    Mengetahui tentang anatomi punggung bawah
2.    Mengetahui tentang nyeri
3.    Mengetahui tentang trauma dan jenis-jenisnya
4.    Mengetahui penyakit degenerative
5.    Mengetahui tentang fisioterapi

VI. BELAJAR MANDIRI
Sumber    :
    Text book
    Kamus Dorland
    Internet


VII. KESIMPULAN AKHIR
Dibutuhkan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui etiologi dari penyakit yang dialami ibu tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

1.    Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Ke IV Penerbit Departemen Ilmu  Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
2.    Dorland . 2008. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta
3.    Duus, peter. 1996. Diagnosis topik neurologi : anatomi, fisiologi, tanda/ gejala; alih bahasa, Devy H. Ronardy, Editor edisi Bahasa Indonesia, Wita J. Suwono. Ed. 2. Jakarta : EGC.
4.    Mardjono, Mahar dan Priguna Shidarta. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta
5.    Patrick, Davey.ed. . 2006 .“At Glance Medicine”. EMS : Jakarta
6.    Sastrodiwirjo, Soemargo, dkk. 1998. Kumpulan kuliah Neurologi. Universitas Indonesia : Jakarta