Jumat, 29 Juni 2012

Demam Berdarah Dengue (SKENARIO)

 Adikku yang demam dan mimisanDi kelurahan kami kemarin dilakukan fogging oleh Dinas Kesehatan Kotamadya oleh karena banyak pasien Anak yang demam berkunjung ke PUSKESMAS Kelurahan. Dan Salah satu diantaranya, Adik saya  sendiri Mintarsih yang masih berumur 8 tahun. Ia mengalami demam yang semakin tinggi disertai epistaxis ( mimisan).
Pada pemeriksaan selanjutnya adik saya dirawat inap dan diberi infus cairan dan obat vitamin dan setelah 3 hari sembuh dan istirahat dirumah sampai keadaan Umumnya baik kembali. Waktu opname ditemukan pada pemeriksaan darah, jumlah sel trombositnya sangat rendah.
Apa penyakit Adik saya dan adakah hubungannya dengan tindakan fogging di kelurahan kami ?

METODE SEVEN JUMP

I.    KLARIFIKASI ISTILAH

a.    FOGGING :  pengasapan
b.    DEMAM : kenaikan suhu diatas normal. suatu bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi.
c.    EPISTAXIS: Perdarahan yang dapat berasal dari rongga hidung, sinus paranasal, atau nasofaring. Gejala, bukan penyakit. Perdarahan bias menetes, mengucur, bias lewat hidung, bias lewat nasofaring.
d.    OPNAME : menginap di PUSKESMAS atau pun RS untuk mendapatkan perawatan.
e.    TROMBOSIT : keping-keping darah

II.    MENETAPKAN PERMASALAHAN
a.    Daerah endemik
b.    Anak berumur 8 tahun mengalami demam yang semakin tinggi dan epistaksis.
c.    Dirawat inap dan diberi infuse cairan dan obat vitamin
d.    Waktu opname ditemukan pada pemeriksaan darah, jumlah sel trombositnya sangat rendah.


III.    ANALISIS MASALAH 

EPISTAKSIS

ANATOMI VASKULAR

Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis interna.
Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :
    Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
    Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi.
Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior

DEFINISI
    Perdarahan dari rongga hidung yang dapat bersal dari rongga hidung, sinus paranasal, atau nasofaring
    Gejala, bukan penyakit
    Perdarahan biasa menetes, mengucur, bias lewat hidung, bias lewat nasofaring

ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung.
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.

1) Lokal
a.    Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.

b.     Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.

c.    Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

d.    Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh darah paru.

e.     Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar ali-
ran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.

f.     Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan daranya sangat kering.
2) Sistemik
a.Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
b.Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
c.Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
d.Gangguan endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.

PATOFISIOLOGI
•    Bila akibat trauma, ada pembuluh darah yang pecah
•    Perdarahan terjadi karena pembuluh darah kurang dapat berkontraksi:
    Pembuluh darah terletak antara periosteum & mukosa tipis
    Tidak ada bantalan yang melindungi pembuluh darah
•    Epistaksis spontan, tanpa trauma
•    Ada teori keseimbangan hormonal
•    Hormone estrogen turun, timbul rangsangan untuk terjadi perdarahan
•    PA : tidak ada pembuluh darah pecah
•    Hipotesis: darah keluar secara diapedesis melalui membrane basalis. Mekanisme yang sebenarnya belum jelas.

Sumber perdarahan:
    bagian anterior : little’s area dan A. Etmoidalis Anterior
    bagian posterior : A. Sfellopalatina dan A. Etmoidalis Posterior 


LOKASI EPISTAKSIS
Menurunkan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
1.    Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anakanak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana
2.    Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular

GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan Dapat berhenti untuk sementara Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:

a)     Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa dengan  cermat.
b)    Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang & secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c)    Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d)    Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e)    Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
f)    Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis

KOMPLIKASI
Akibat perdarahan:
    Syok
    Anemia
    Aspirasi darah
    Gagal ginjal
    Tensi turun menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner, infark miokard

Akibat pasang tampon:
    Timbul sinusitis
    Timbul OMA
    Hemotimpanum
    Air mata darah
    Septicemia
    Laserasi mukosa hidung (akibat tamponade anterior)
    Laserasi sudut bibir (akibat tampon bellocq)

PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS
Tiga prinsip utama penanggulan epistaksis :
1.    Menghentikan perdarahan
2.    Mencegah komplikasi
3.    Mencegah berulangnya epistaksis.
Alat-alat yang digunakan :lampu kepala,spekulum hidung,alat hisap,forsep bayonet,spatel lidah,kateter karet,pelilit kapas,lampu spritus,kapas,tampon posterior (tampon Bellocq),vaselin,salap antibiotik,larutan pantokain 2% atau semprotan silokain untuk anestesi lokal,larutan adrenalin1/10.000,larutan nitras argenti 20-30%,larutan triklorasetat 10%,atau elektrokauter.
Pertama sekali,keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa.Anamnese singkat sambil mempersiapkan alat.
Menghentikan perdarahan secara aktif,seperti pemasangan tampon dan kaustik lebih baik daripada memberikan obat-obatan hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti.
Pasien diminta duduk tegak (agar tekanan vaskular berkurang dan mudah membatukkan darah di faring).Bila dalam keadaan lemah atau syok,pasien dibaringkan dengan bantal di belakang punggung.Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat hisap agar hidung bersih dari bekuan darah.Kemudian pasang tampon anteror yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya.Biarkan 3-5 menit dan tentukan apakah sumber perdarahan di bagian anterior atau posterior.

PERDARAHAN ANTERIOR
Sumber perdarahan dikaustik dengan larutan nitras argenti 20-30% (asam triklorasetat 10%) atau elektrokauter.Sebelumnya diberikan analgesik topikal.Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung,maka diperlukan pemasangan tampon anterior,yaitu kapas atau kasa menyerupai pita dengan lebar ½ cm,yang diberi vaseline atau salep antibiotik agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang saat pencabutan.
Tampon anterior dimasukkan melalui nares anterior,diletakkan berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung,dan harus menekan tempat asal perdarahan.
Tampon dipertahankan 1-2 hari.
Jika tidak ada penyakit yang mendasarinya,pasien diperbolehkan rawat jalan,dan diminta lebih banyak duduk serta mengangkat kepalanya sedikit pada malam hari.
PERDARAHAN POSTERIOR
Terjadi bila sebagian besar darah yang keluar masuk kedalam faring,tampon anterior tidak dapat menghentikan perdarahan,dan pada pemeriksaan hidung tampak perdarahan di posterior superior.
Perdarahan posterior lebih sukar diatasi karena perdarahan biasanya hebat dan sukar melihat bagian posterior dari kavum nasi.Dilakukan pemasangan tampon posterior(tampon Bellocq),yaitu tampon yang mempunyai tiga utas benang,1 utas di tiap ujung dan 1 utas di tengah.Tampon harus bisa menutup koana(nares posterior).Tampon dibuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus dengan diameter 3cm.
Untuk memasang tampon Bellocq,kateter karet dimasukkan melalui salah satu nares anterior sampai tampak di orofaring dan ditarik keluar dari mulut.Ujung kateter diikat pada salah satu benang yang ada pada salah satu ujung tampon,kemudian kateter ditarik melalui hidung sampai benang keluar dari nares anterior.Dengan cara yang sama benang yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung sebelahnya.
Benang yang keluar kemudian ditarik,dan dengan bantuan jari telunjuk tampon tersebut didorong kearah nasofaring.Agar tidak bergerak,kedua benang yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kasa didepan lubang hidung.Ujung benang yang keluar dari mulut dilekatkan pada pipi.Benang tersebut berguna bila hendak mengeluarkan tampon. Jika dianggap perlu,dapat pula dipasang tampon anterior.
Pasien dengan tampon posterior harus dirawat dan tampon dikeluarkan dalam waktu 2-3 hari setelah pemasangan.Dapat diberikan analgesik atau sedatif yang tidak menyebabkan  depresi pernapasan.Bila cara diatas dilakukan dengan baik,maka sebagian besar epistaksis dapat ditanggulangi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menilai keadaan umum dan mencari etiologi,dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap,fungsi hemostatis,uji faal hati dan ginjal.Dilakukan pula pemeriksaan foto hidung,sinus paranasal,dan nasofaring,setelah keadaan akut diatasi.
KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat perdarahan hebat
1.    Syok dan anemia
2.    Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak,insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian.Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
Akibat pemasangan tampon
1.    Pemasangan tampon dapat meimbulkan sinusitis,otitis media,bahkan septikemia.
Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut meski akan dipasang tampon baru bila masih berdarah.
2.    Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrogard melalui tuba Eustachius,dapat terjadi hemotimpanum dan air mata yang berdarah.
3.    Pada waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu kencang dilekatkan.

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
DEFINISI
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut 
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)

PATOGENESIS
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement.

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.9,10
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9,1

DIAGNOSIS
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:2,5,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
• Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.
• Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji     torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak  terukur.
 
(sudah ada kriteria terbaru, tidak dalam 4 derajat lagi melainkan 3 grup)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya  demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11.
 Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.11
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5,9
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat  antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok.
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat .
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% .
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.1-3
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.12,13 Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial  (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. 14 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah  disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik. 15,16
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan Dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch). 15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut  masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai  apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

DEMAM CHIKUNGUNYA
    Chikungunya, berasal dari bahasa Swahlii  yang artinya adalah bungkuk. Berdasarkan gejala penderita yang berarti posisi tubuh meliuk atau melengkung, mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi yang hebat. Karena salah satu gejala yang khas adalah timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang ada yang menamainya sebagai demam tulang atau flu tulang.
ETIOLOGI
Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIK) dan termasuk keluarga Togaviridae, genus Alphavirus dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti

PATOGENESIS
Aedes aegypti ( terutama), Aedes Albopictus, Aedes polynesiensis, dan Aedes Scutellaris

kelenjar Lympe regional

RES  Replikasi

Sirkulasi dan jaringan

Menginfeksi    : makrofag, Monosit, limfosit  ( antibody)
Pelepasan mediator                 manifestasi klinik.

PENATALAKSANAAN
Virus ini termasuk Self Limiting Disease. Termasuk pengobatan simptomatik. Cukup minum obat penurun panas dan penghilang rasa sakit. Cukup istirahat, minum dan makanan bergizi. Penyakit ini tidak menyebabkan kematian.
PENCEGAHAN
1.    Menguras, menutup dan mengubur.
2.    Memelihara ikan pemakan jentik.
3.    Menabur larvasida
4.    Kelambu
5.    Memasang kasa
6.    Menyemprot dengan insektisida
7.    Repellent
8.    Obat nyamuk.

DENGUE SHOCK SYNDROME

Adalah sindroma syok yang terjadi pada penderita dengue hemorrhagic fever (DHF) atau demam brdarah dengue.
Patofisiologi
Terjadinya peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya pembebasan plasma dan elektrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk kedalam ruang interstitial, sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrsasi, hipopeoteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang sampai kurang lebih 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi ini bila tidak segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis metabolic sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler. Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous pooling, sehingga lebih lanjut memperberat renjatan.
Terjadinya perdarahan ini disebabkkan oleh:
•    Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
•    Gangguan fungsi trombosit.
•    Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa thrombin normal. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II,V,VII,IX,X dan fibrinogen.
•    Pembekuan intravaskuler yang meluas.
Manifestasi klinis renjatan pada anak-anak:
1.    Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung.
2.    Anak semula rewel, cengeng dan gelisah lambat-laun kesadarannya menurun manjadi apti, spoor dan koma.
3.    Perubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya
4.    Tekamah nadi menurun menjadi 20mmhg atau kurang.
5.    Tekanan sistolik menurun menjadi 80mmhg atau kurang
6.    Oliguria sampai anuria
Berdasarkan gangguan sirkulasi :
1.    Renjatan berat ialah renjatan yang ditandai oleh tekanan darah yang tidak dapat diukur dan nadi tak dapat diraba.
2.    Renjatan sedang ialah tekana nadi 20 mmhg atau lebih dan atau kurang tekanan darah sistolik kurang atau sama dengan 80 mmhg.
3.    Renjatan ringan ialah tekanan sistolik mulai menurun, dimana tekanan diastolic tetap normal atau sedikit rendah.
DD/DBD    Derajat*    Gejala     Laboratorium
DD        Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyri retro-orbital, mialgia, artralgia    •    Leucopenia
•    Trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma.
•    Serologi dengue positif
DBD    I    Gejala diatas ditambah uji bendung positif.    •    Trombositopenia (<100.000/?l), bukti kebocoran plasma
DBD    II    Gejala diatas ditambah perdarahan spontan    •    Trombositopenia (<100.000/?l), bukti kebocoran plasma
DBD    III    Gejala diatas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)    •    Trombositopenia (<100.000/?l), bukti kebocoran plasma
DBD    IV    Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur    •    Trombositopenia (<100.000/?l), bukti kebocoran plasma




PENGOBATAN
 Penanganan renjatan pada penderita DBD merupakan suatu masalah yang sangat penting diperhatikan, oleh karena angka kematian akan meninggi bila renjatan tidak ditangani secara dini dan adekuat.
Dasar penanggulangan renjatan pada DBD ialah volume replacement atau penggantian cairan intravascular yang hilang, sebagai akibat dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas sehingga mengakibatkan plasma leakage.
Prinsip pengobatan dengue shock syndrome:
•    Atasi segera hipovoleminya
•    Lanjutkan penggantian cairan

YELLOW FEVER ( DEMAM KUNING )


SINONIM
Fibrie amarilla
Yellow fever adalah suatu penyakit viral yang menyerang pada hewan dan manusia yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan bersifat endemik didaerah gurun sahara bagian selatan Afrika. Dialam bebas terjadi siklus dihutan (sylvatic cycle) antara satwa primata dengan nyamuk penghiap darah, yang dikenal sebagai Jungle yellow fever.
PENYEBAB
Yellow fever disebabkan oleh virus RNA, termasuk genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus
 ini merupakan virus RNA.

MASA INKUBASI
3-6 hari

GEJALA KLINIS
Setelah masa inkubasi timbul demam, menggigil, nyeri kepala yang hebat, sakit punggung, myalgia (nyeri otot), anoreksia, nausea (mual), perdarahan pada gusi dan epistaksis. Gejala tersebut biasanya hilang setelah 3-4 hari, dan ketika pada tahap ini terjadi viremia(virus dapat ditemukan dalam darah). Pada tahap viremia ini kadang disertai jaundice (kekuningan), pendarahan (hemorrhage), muntah yang berwarna hitam (black vomit), tidak dapat kencing (anuria), dan terminal delirium.

Menurut Longmore M.
1.Bentuk ringan (mild form):
Demam, sakit kepala, nausea (mual), albuminuria, myalgia, dan bradikardi relative.
2.Bentuk berat (severe form):
Sakit kepala selama 3 hari, myalgia, anorexia (selera makan turun) ± nausea, diikuti oleh demam mendadak (abrupt fever), masa remisi (demam menurun) yang singkat, kemudian lemah (prostration), kekuningan (jaundice), (± perlemakan hati atau fatty liver), muntah darah (haematemesis) dan perdarahan lainnya, sedikit berkemih (oliguria).

Perubahan patologik
Pada hewan dan manusia meliputi Fatty liver (hati berlemak) disertai zona nekronis dibagian tengah lesi. Pada sel hati manusia dapat ditemukan intranuclear body. Pada ginjal dapat ditemukan degenerasi melemak dan perdarahan.

Diagnosis Laboratorium
Deteksi dini infeksi virus yellow fever dapat dilakukan pada periode infeksi dengan mendeteksi antigen virus menggunakan metode ELISA (enzyme linked immunosorbant assay) ataupun PCR (polymerase chain reaction). Identifikasi virus yellow fever dapat dibiakkan pada biakan cel dan diuji dengan Haemagglutination Inhibin (HI).

DIAGNOSIS BANDING
Untuk kasus ringan:
1.    Malaria
2.     infeksi Dengue

Untuk kasus berat:
1.    Leptospirosis
2.    Demam tifoid
3.    Hepatitis viral akut
4.    Demam berdarah viral, seperti: DHF, Ebola, Lassa, Marburg, Congo-Crimea, demam Rift-Valley.

TERAPI
1.    Tidak ada pengobatan yang spesifik. Pengobatan yang diberikan hanya bersifat simptomatik antara lain pemberian analgesikum,antipiretikum antacidum dan pemberian obat untuk mengurangi perdarahan pada lambung (seperti Cimetidine).
2.    Suportif: koreksi kehilangan cairan, pertahankan stabilitas hemodinamik.
3.    Pemberian antagonis H2 atau inhibitor pompa proton dapat dilakukan.

PENCEGAHAN
1.    Mengontrol vektor a Aedes aegypti,
2.    Menjaga tubuh agar tidak digigit nyamuk,
3.    Vaksinasi dengan virus yang dilemahkan (live attenuated) 17D sangat efektif, yakni 17D-204 dan 17DD yang diberikan secara subkutan.

IV.       KESIMPULAN SEMENTARA
    Dengue Hemorragic Fever. Ditandai dengan hasil pemeriksaan laborotorium (trombosit menurun) dan adanya perdarahan (epistaksis).

ANAMNESIS
Nama                         :  Mintarsih
Umur                         :  8 tahun
Jenis kelamin                     :  Perempuan
Alamat                        :  -
Keluhan utama                :  Demam yang semakin tinggi disertai epistaxis
Keluhan tambahan                :  -
Riwayat Penyakit terdahulu             :  -
Riwayat Sosial                :  tinggal di daerah endemic DBD
Riwayat Pemakaian Obat Sebelumnya    :  -

PEMERIKSAAN FISIK
1.Inspeksi : Epistaxis
2.Palpasi : Suhu tubuh menigkat
3.Perkusi : -
4.Auskultasi : -

PEMERIKSAAN LABORATORIUM : Trombosit Turun

DIAGNOSIS BANDING
-    Dengue Hemorragic Fever
-    Demam chikungunya
-    Dengue Shock Syndrome

DIAGNOSA AKHIR
DHF II

PROGNOSA
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini. Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma.
Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratories untuk menilai respon kecukupan cairan.

V.          TUJUAN PEMBELAJARAN
1.    Mengetahui Epistaksis
2.    Mengetahui DBD
3.    Mengetahui demam Chikungunya
4.    Mengetahui dengue syok syndrome
5.    Mengetahui Yellow fever (demam kuning)

VI.         BELAJAR MANDIRI
Sumber :    
-    Text book
-    Internet
-    Kamus Dorland

VII.    KESIMPULAN AKHIR
1.    Adik menderita DBD derajat 2. Dan harus dilakukan pengobatan yang adekuat agar tidak terjadi komplikasi DSS.




DAFTAR PUSTAKA

1.    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. ”Kapita Selekta Kedokteran”. jilid 2. Media Aeculapius : Jakarta
2.    Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit    Dalam:Jilid III. Edisi IV. Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam UI. Jakarta
3.    Price A Sylvia,wilson Loraine M. 2006. Patofiologi konsep klinis proses-proses penyakit .Vol 2. ed 6 .EGC: Jakarta.
4.    Rampengan T.H. dan Laurentz I.R, ”Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak”, EGC, Manado, 1992.
5.    Widoyono. 2008. Penyakit Tropis. Penerbit Erlangga : Jakarta
6.    www. Medicastore.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar