Jumat, 29 Juni 2012

Gangguan Motilitas (Dispepsia)

Gangguan Motilitas (Dispepsia)

 Gangguan Motilitas Gastro-intestinal Primer

Gangguan motilitas gastro-intestinal primer adalah gangguan yang tidak berhubungan dengan penyakit tertentu. Tampilan klinik, patofisiologi, dan pengobatannya bervariasi. Gastro-intestinal idiopatik dan dispepsia fungsional bisa terjadi pada usia lanjut.

 Gangguan Motilitas Gastro-intestinal Sekunder

Berbagai penyebab yang sering terdapat pada populasi usia lanjut, antara lain gangguan neuromuskuler, gangguan vaskuler-kolagen dan obat-obatan, dapat menyebabkan gangguan motilitas gastro-intestinal. Di samping hal itu, gastroparesis juga bisa diakibatkan tindakan bedah di saluran cerna yang merubah anatomi dan mempengaruhi motilitas

Neuropati diabetik merupakan kelainan umum yang mempengaruhi inervasi saluran cerna dan mempengaruhi motilitas. Kelainan degeneratif susunan saraf otonom pada usia lanjut, misalnya sindroma Shy-Drager dan hipotensi ortostatik idiopatik bisa mengakibatkan komplikasi gastroparesis.

Berbagai kelainan susunan saraf pusat, antara lain trauma medula spinalis, kelainan SSP paroksismal (misalnya vertigo, migrain) dan lesi intrakranial juga dilaporkan disertai dengan gangguan pengosongan lambung.

Hipertiroidisme dapat menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan perlambatan pengosongan lambung dan pseudo-obstruksi intestinal
Beberapa obat, antara lain : agonis adrenergik, agonis dopaminergik, antagonis kolinergik dan opiat menghambat kontraktilitas dan melambatkan pengosongan lambung. Agonis kolinergik dan serotonin akan meningkatkan motilitas lambung.

Dalam hal pemeriksaan, tes pengosongan lambung dengan radiosintigrafi dapat mengukur pengosongan lambung secara kuantitatif, sedangkan manometrik gaster dapat mengukur kontraktilitas lambung dan intestinum tenue dengan mengukur tekanan intraluminernya. Sayangnya interpretasi tes sangat sukar, dan peralatan manometrik jarang tersedia, walaupun di rumah sakit besar.

Penatalaksanaan pada gangguan motilitas bisa berupa modifikasi diet atau dengan obat-obatan. Gejala penderita dengan gastroparesis bisa dikurangi dengan pemberian makanan sedikit demi sedikit, atau dengan merubah komposisi (misalnya dengan meningkatkan cairan), sehingga meningkatkan pengosongan lambung. Retensi lambung persisten merupakan indikasi penggunaan obat pro-motilitas (betanekol, metoklopramid, sisaprid) untuk meningkatkan kontraktilitas. Bila keadaan menyebabkan gangguan yang sangat berat, tindakan bedah mungkin diperlukan.
B.2. Gastritis

Gastritis adalah suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung. Secara histopatologik dapat dibuktikan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Secara garis besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, atas dasar :
1. Manifestasi klinik
2. Gambaran histologi yang khas pada gastritis
3. Distribusi anatomik
4. Kemungkinan patogenesis gastritis

Insidensi gastritis meningkat dengan lanjutnya usia. Gastritis atrofikans merupakan penyebab tersering terjadinya hipo atau aklorhidia. Gastritis akut sering diakibatkan oleh konsumsi alkohol, obat-obatan (terutama anti-inflamasi non-steroid) dan toksin stafilokokus. Jenis superfisial ditandai dengan adanya inflamasi, edema, dan produksi mukus yang berlebihan. Pada jenis hipertrofikans secara endoskopik terlihat adanya pembengkakan mukosa, sehingga berbentuk seperti spons, disertai adanya ulserasi dan erosi di mana-mana

Perubahan histologik yang jelas terdapat pada kondisi patologis antara lain anemia pernisiosa dan defisiensi besi, hepatitis virus, pasca radiasi abdomen, dan pasca operasi lambung.

 Gastritis Akut
Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan dan sembuh sempurna. Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit yang berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik.
Gastritis akut dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Keadaan klinis yang sering menimbulkan gastritis erosif adalah trauma yang luas, operasi besar, gagal ginjal, gagal napas, penyakit hati yang berat, renjatan, luka bakar yang luas, trauma kepala, dan septikemia. Penyebab lain adalah obat-obatan, misalnya aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid.

Faktor-faktor yang menyebabkan gastritis erosif adalah iskemia pada mukosa gaster, di samping faktor pepsin, refluks empedu, dan cairan pankreas.

Aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensif mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.

Gambaran klinis gastritis akut erosif sangat bervariasi, mulai dari yang sangat ringan asimtomatik sampai sangat berat yang dapat membawa kematian. Pada kasus yang sangat berat, gejala yang sangat mencolok adalah hematemesis dan melena yang dapat berlangsung sangat hebat sampai terjadi renjatan karena kehilangan darah. Pada sebagian besar kasus, gejalanya amat ringan bahkan asimtomatis. Keluhan-keluhan itu misalnya nyeri timbul pada ulu hati, biasanya ringan dan tidak dapat ditunjuk dengan tepat lokasinya. Kadang-kadang disertai mual dan muntah. Perdarahan saluran cerna sering merupakan satu-satunya gejala.

Gastritis akut erosif harus selalu diwaspadai pada setiap pasien dengan keadaan klinis yang berat atau pengguna aspirin atau obat anti-inflamasi non-steroid. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan gastroduodenoskopi. Pemeriksaan radiologi dengan kontras tidak memberikan manfaat yang berarti untuk menegakkan diagnosis akut.

Pengobatan sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap pasien dengan resiko tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari, dan menghentikan obat yang dapat menjadi kausa dan pengobatan suportif

Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian antasida atau antagonis H2, sehingga dicapai pH lambung ≥4. Untuk pengguna aspirin, pencegahan yang terbaik adalah dengan misoprostol.

Pemberian antasida, antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun efek terapeutiknya masih diragukan. Pada sebagian kecil pasien perlu dilakukan tindakan yang bersifat invasif untuk menghentikan perdarahan yang mengancam jiwa, misalnya dengan endoskopi skleroterapi, embolisasi arteri gastrika kiri, atau gastrektomi.




 Gastritis Kronik

Disebut gastritis kronik bila infiltrasi sel radang yang terjadi pada lamina propria, daerah epitelial atau pada kedua daerah tersebut terutama terdiri atas limfosit dan sel plasma. Kehadiran granulosit netrofil pada daerah tersebut menandakan peningkatan aktivitas gastritis kronik.
Klasifikasi histologi yang sering digunakan adalah :
1. Gastritis kronik superfisialis apabila sebukan sel radang kronis terbatas pada lamina propria mukosa superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel kelenjar tetap utuh.
2. Gastritis kronik atrofik apabila sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai distorsi dan destruksi sel-sel kelenjar mukosa yang lebih nyata.
3. Metaplasia intestinalis dimana terjadi perubahan-perubahan histopatologik kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar mukosa usus halus yang mengandung sel goblet. Perubahan tersebut dapat terjadi hampir pada seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan bercak-bercak pada beberapa bagian lambung.
4. Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronik. Pada saat itu struktur kelenjar-kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata dengan jaringan ikat, sedangkan sebukan sel-sel radang juga menurun. Mukosa menjadi sangat tipis, sehingga dapat menerangkan mengapa pembuluh darah menjadi terlihat pada saat pemeriksaan endoskopi.

Menurut distribusi anatomisnya, gastritis kronis dapat dibagi :
1. Gastritis kronik korpus atau tipe A, dimana perubahan histopatologik terjadi pada korpus dan kardia lambung. Tipe ini sering dihubungkan dengan proses oto-imun dan dapat berlanjut menjadi anemia pernisiosa.
2. Gastritis kronik antrum atau tipe B, merupakan tipe yang paling sering dijumpai, dan akhir-akhir ini sering dihubungkan dengan infeksi kuman Helycobacter pylori (H. pylori).
3. Gastritis multifokal atau tipe AB yang distribusinya menyebar ke seluruh gaster. Penyebaran ke arah korpus meningkat seiring dengan lanjutnya usia.

Secara etiologi terdapat 2 hal penting, yaitu :
• Imunologik : terutama pada gastritis kronik korpus yang berkorelasi kuat dengan autoantibodi sel parietal. Ciri-ciri khusus adalah bahwa secara histopatologik berbentuk gastritis kronik atrofik dengan predominan korpus yang dapat menyebar ke antrum dan hipergastrinemia. Keadaan ini dapat berlanjut menjadi anemia pernisiosa.
• Bakteriologik : pada mulanya kuman ini disebut sebagai Campylobacter pylori. Terdapat di seluruh dunia dan berkorelasi dengan tingkat sosio-ekonomi masyarakat. Prevalensi meningkat dengan meningkatnya umur. Di negara berkembang yang tingkat ekonominya lebih rendah, terjadi infeksi pada 80 % penduduk setelah usia 30 tahun. Atrofi mukosa terjadi setelah bertahun-tahun terkena infeksi kuman ini. Atrofi mukosa pada usia lanjut mungkin terjadi sebagai akibat kombinasi antara proses menua dan infeksi karena kuman ini.
• Aspek lain : di samping kedua faktor di atas, faktor refluks entero-gaster, cairan pankreato-bilier, asam empedu dan lisolesitin masuk ke lumen lambung merupakan penyebab terjadinya gastritis kronik.

Pada lansia, gastritis kronis seringkali asimtomatis atau berupa keluhan yang tidak khas yang tidak memberikan informasi penting untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis karenanya ditegakkan atas dasar pemeriksaan endoskopi dan histopatologik. Pemeriksaan penyaring dengan urea breath test dan serologi seringkali diperlukan untuk menentukan adanya infeksi H. pylori, juga untuk menilai keberhasilan eradikasi. Hasil positif pada penderita tanpa keluhan bukan merupakan indikasi pengobatan karena tingginya angka infeksi, terutama pada usia lanjut.

Pengobatan gastritis kronik oto-imun ditujukan pada anemia pernisiosa yang diakibatkannya. Vitamin B-12 parenteral dapat memperbaiki keadaan anemianya. Eradikasi H. pylori dianjurkan untuk gastritis kronik yang berhubungan dengan infeksi kuman tersebut. Eradikasi dapat mengembalikan gambaran histopatologi menjadi normal.
Berbagai kombinasi obat untuk eradikasi kuman H. pylori :
- Triple drugs (diberikan 1-2 minggu)
Bismuth triple therapy : Colloidal bismuth subnitrat (CBS) 4 x 120 mg / hari
+
Pilih 2 di antara 3 : Metronidasol 4 x 500 mg/hari, Amoksisilin 4 x
500 mg / hari, dan Tetrasiklin 4 x 500 mg / hari

“Proton Pump Inhibitor (PPI) based” triple therapy :
Omeprasol 2 x 20 mg/hari atau Lansoprasol 2 x 30 mg/hari atau Lansoprasol 2 x 40 mg/hari
+
2 antibiotika dari : Klaritromisin 2 x 250-500 mg / hari, Amoksisilin 2
x 1000 mg / hari atau Metronidasol 2 x 400-500 mg/hari
- Quadriple Therapy (bila terapi standar dengan terapi triple gagal)
Kombinasi antara PPI (lihat di atas), CBS (4 x 120 mg / hari) dengan 2 macam antibiotika dipilih dari Amoksisilin, Klaritomisin, Tetrasiklin atau Metronidazol

B.3. Ulkus Gaster

Walaupun kadar asam lambung pada lanjut usia sudah menurun, insidensi ulkus di lambung masih lebih banyak dibandingkan ulkus duodenum. Pria lebih banyak dibandingkan wanita. Walaupun gejala pada penderita lanjut usia mirip dengan yang terdapat pada usia muda, sebagian lainnya memberikan gejala tak spesifik, antar lain penurunan berat badan, mual dengan rasa tak enak di perut.
Etiologi ulkus gaster :
1. Faktor asam lambung (difusi balik ion H+) : bahan iritan akan menimbulkan defek mukosa barier dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut / kronis, dan ulkus gaster.
2. Disfungsi pilorik (refluks empedu dan motilitas antrum) : bila mekanisme penutupan sfingter pilorus tidak baik, artinya tidak cukup berespon terhadap rangsangan sekretin atau kolesistokinin, akan terjadi refluks empedu dari duodenum ke antrum lambung, sehingga terjadi defek pada mukosa barier yang menimbulkan difusi balik ion H+. Ulkus gaster yang letaknya dekat dengan pilorus biasanya memperlambat gerakan antrum, memperlambat pengosongan lambung melalui gerakan propulsif antrum.
3. Helycobacter pylori : infeksi kuman ini akan menimbulkan pangastritis kronik atrofi sel mukosa korpus dan kelenjar, metaplasia intestinal dan hipoasiditas.

Tingkat komplikasi pada usia lanjut cukup tinggi, pada saat ini 50 % perforasi terjadi pada mereka yang berusia di atas 70 tahun. Pada beberapa penderita, perforasi yang terjadi tidak memberikan gejala khas (silent). Diagnosis dibuat dengan melakukan endoskopi atau radiografi dengan kontras barium.
Tujuan terapi adalah :
1. Menghilangkan keluhan / gejala.
2. Menyembuhkan ulkus
3. Mencegah relaps / kekambuhan
4. Mencegah komplikasi
Terapi terdiri dari :
• Non-medikamentosa :
- Istirahat
- Diet lunak, tidak merangsang pengeluaran asam lambung.
- Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) sebaiknya dihindari. AINS yang kurang iritan adalah golongan ibuprofen
• Medikamentosa :
- Antasida untuk menghilangkan keluhan sakit dan obat dispepsia.
- Antagonis reseptor H2 (ARH2)
- Proton pump inhibitor (PPI) Omeprazol
- Obat penangkal kerusakan mukus :

Koloid bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap rangsangan pepsin dan asam. Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2, serta adanya efek bakterisidal terhadap H. pylori, sehingga kemungkinan relaps berkurang. Dosis : 2 x 120 mg / hari. Efek samping : tinja berwarna kehitaman, sehingga timbul keraguan dengan perdarahan.

Sukralfat
Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan melalui pelapisan permukaan ulkus dimana anion sukralfat berikatan dengan kutub positif molekul protein pada dasar ulkus. Dosis : 4 x 1 g sebelum makan. Efek samping konstipasi, mual, perasaan tidak enak di perut. Kombinasi dengan obat ulkus lain, seperti ARH2, PPI, antasida tidak dianjurkan.
Prostaglandin / PG
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung, menambah sekresi mukus, sekresi bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah mukosa. Efek penekanan asam lambung kurang kuat dibandingkan dengan ARH2. Biasanya digunakan sebagai penangkal ulkus pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus, sehingga tidak dianjurkan pada wanita hamil.

• Tindakan operasi
Indikasi operasi ulkus peptikum :
1. Gagal pengobatan
2. Adanya komplikasi perforasi, perdarahan, dan stenosis pilori
3. Ulkus gaster dengan sangkaan keganasan

Prognosis pada penderita tak berkomplikasi, walaupun ulkus cukup besar, biasanya baik. Penderita dengan komplikasi, biasanya prognosis buruk.



Ulcus gaster Perforasi gaster
B.4. Ulkus Duodenum
Ulkus lambung dan duodenum terjadi akibat autodigesti asam lambung terhadap mukosa lambung / duodenum, sehingga membuat suatu dictum no acid no ulcer yang sampai sekarang masih relevan dalam pembicaraan mengenai etiologi tukak peptik. Pepsinogen yang dihasilkan oleh chief cell pada kelenjar getah lambung bagian antrum pilorus, dalam suasana asam diubah menjadi pepsin yang berfungsi memecahkan protein dalam makanan, dan apabila daya tahan mukosa menurun, pepsin dapat mencerna struktur protein mukosa, sehingga bekerja dengan asam lambung dapat menyebabkan tukak peptik.

Dua faktor yang menentukan terjadinya ulkus :
1. Faktor agresif yang dapat merusak mukosa :
a. Asam lambung dan pepsin
b. Faktor-faktor lingkungan, seperti :
- H. pylori
- Penggunaan obat OAINS
- Merokok
- Stres lingkungan
- Kebiasaan makanan

2. Faktor defensif yang memelihara keutuhan dan daya tahan mukosa:
a. Sekresi mukus oleh sel epitel permukaan
b. Sekresi bikarbonat lokal oleh sel mukosa lambung / duodenum
c. Prostaglandin / fosfolipid
d. Aliran darah mukosa (mikrosirkulasi)
e. Regenerasi dan integritas sel epitel mukosa
f. Faktor-faktor pertumbuhan

Keluhan yang sering diutarakan pasien adalah :
• Nyeri di daerah epigastrium berupa nyeri yang tajam, dan menyayat, atau terasa tertekan, penuh atau terasa perih seperti pada seseorang yang lapar. Nyeri pada bagian kanan atau kiri epigastrium, terjadi 30 menit sesudah makan, dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri terasa berkurang atau sembuh sementara, sesudah makan atau setelah minum antasida.
• Nafsu makan berkurang
• Mual dan muntah
• Kembung, bersendawa
• Berat badan bisa menurun
• Kadang pasien tidak cocok denagn makanan tertentu, seperti makanan
yang mengandung banyak lemak.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan :
- Radiologis dengan double contrast.
- Endoskopi
- Anamnesis yang baik dan teliti.
- Pemeriksaan H. pylori
Pengobatan yang diberikan sama dengan pengobatan pada ulkus gaster. Komplikasi yang dapat terjadi : perdarahan, penetrasi / perforasi tukak, obstruksi akibat deformitas duodenum oleh karena terjadinya parut pada penyembuhan ulkus dan kanker duodenum.


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar